Sungguh sebuah ujian berat bagi Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. Ketika namanya melambung sebagai figur yang pantas diusung menjadi capres 2024, terjadi sebuah konflik yang menyita perhatian publik di wilayahnya.
Konflik dimaksud terjadi di Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo. Puncaknya terjadi pada Selasa (8/2/2022) ketika diadakan pengukuran tanah untuk pembangunan bendungan oleh petugas Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Setelah terjadi gesekan antara warga penolak dan pendukung pembangunan, aparat mengamankan sejumlah warga yang membawa senjata tajam dan dibawa ke Polsek Bener (Tempo.co, 9/2/2022).
Jika menyimak pemberitaan di media massa yang mengangkat topik konflik Wadas, dapat disimpulkan bahwa konflik ini bersumber dari adanya sumbatan komunikasi antara masyarakat dan pemerintah (Kompas, 12/2/2022).
Makanya, solusinya tak lain dan tak bukan harus memperbaiki pola komunikasi dengan pendekatan yang bisa diterima masyarakat, baik oleh kelompok yang pro maupun kontra pembangunan.
Jika harga ganti rugi tidak disepakati, barangkali bisa dijajaki diganti dengan lahan di desa lain yang sebanding dengan lahan yang dilepas.
Tentu sebelum itu perlu dijelaskan seterang-terangnya kenapa lahan di desa Wadas yang "dikorbankan". Tapi, kalau dengan pengorbanan itu akan mendatangkan manfaat yang lebih besar untuk lebih banyak orang, tentu bisa dimusyawarahkan.
Seperti diketahui, konflik Wadas berkaitan dengan pembangunan Bendungan Bener yang natinya akan menjadi sumber suplai air untuk lahan sawah beririgasi, yang terdiri dari lahan 13.589 hektar yang ada sekarang dan 1.110 hektar daerah irigasi baru.
Selain itu, Bendungan Bener juga bisa menjadi sumber pemenuhan air baku untuk masyarakat sekitar dengan kemampuan 1.500 liter per detik.
Ada lagi manfaat lainnya yakni mengurangi potensi banjir untuk Kabupaten Purworejo dan Kabupaten Kulonprogo (Kompas.com, 11/2/2022).
Mudah-mudahan konflik Wadas segera berhasil diselesaikan dengan baik. Apalagi, 64 warga Wadas telah dibebaskan oleh pihak kepolisian sesuai dengan permintaan Gubernur Ganjar Pranowo.
Ganjar juga telah menyampaikan permohonan maaf secara terbuka kepada masyarakat Wadas dan diharapkan kondisi selanjutnya menjadi kondusif.
Terlepas dari kasus di atas, perlu kiranya bagi pejabat publik, termasuk aparat keamanan untuk menguasai teknik komunikasi yang baik dalam bermusyawarah dengan masyarakat kecil.
Apalagi, ke depan diperkirakan masih banyak proyek strategis yang memerlukan pembebasan lahan di wilayah pedesaan.Â
Ya, secara strata sosial, warga desa yang sering dianggap "orang kecil" terletak di lapisan bawah. Tapi ingatlah, karena jumlahnya banyak, sebetulnya menyimpan kekuatan tersembunyi, yang baru digunakan bila betul-betul sudah terjepit.
Presiden Jokowi dapat dijadikan teladan dalam menerapkan cara berkomunikasi yang baik dengan masyarakat kelas menengah ke bawah.
Beliau terkenal sebagai pejabat yang sangat merakyat dan menerapkan falsafah ngewongke (mengorangkan) rakyat kecil. Maksudnya, orang kecil itu diperlakukan secara setara dengan orang yang strata sosialnya lebih tinggi.
Sewaktu Jokowi menjadi Wali Kota Solo, beliau sudah membuktikan hal tersebut dalam merelokasi pedagang kaki lima.Â
Musyawarah dengan pedagang dilakukan berkali-kali dengan mengundang makan. Sama sekali tidak ada cara kekerasan dan akhirnya para pedagang bersedia direlokasi.
Dari contoh yang dilakukan Jokowi, kita berharap tidak ada lagi aparat negara yang merasa dalam posisi lebih tinggi dari masyarakat, seolah-olah dengan sebuah instruksi semuanya akan beres.
Prinsip kesetaraan perlu diterapkan, meskipun misalnya masyarakat yang diajak bicara relatif pendidikan formalnya lebih rendah.
Justru itu, ungkapkan semuanya secara transparan (terbuka) dengan bahasa yang sederhana dan gampang dimengerti. Sampaikan manfaatnya secara jelas dan sampaikan pula risiko yang mungkin dihadapi oleh warga yang terkena pembebasan lahan.
Karena lahan, sekecil apapun, bagi sebagian warga merupakan "hidup mati" yang harus dipertahankan, beri kesempatan warga tersebut untuk mengutarakan segala keberatannya.
Baru kemudian dicari solusi yang win-win (saling menguntungkan, tak ada pihak yang dirugikan). Mungkin ganti untung (pengganti istilah ganti rugi yang dulu sering dipakai) bagi warga yang menolak, bisa berupa lahan di lokasi lain.
Dan itu semua wajib dilandasi dengan niat yang baik, harus demi kepentingan masyarakat yang lebih banyak. Bukan demi keuntungan pihak tertentu saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H