Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Jangan Sekadar Memburu Viral, Citizen Journalism Perlu Sentuhan Idealisme

12 Februari 2022   10:25 Diperbarui: 12 Februari 2022   10:40 493
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagai bagian dari generasi yang tumbuh dan berkembang di era Orde Baru, saya sulit untuk berpisah dari media cetak. Tapi, melihat satu per satu media cetak berguguran, mau tak mau saya harus membiasakan diri mencari informasi dari media daring.

Masalahnya, saya kurang puas dengan berita daring yang terkesan dangkal, hanya lebih mementingkan faktor kecepatan menayangkan berita.

Sedangkan soal akurasi dan kedalaman berita, menurut saya kalah jauh dengan media cetak. Padahal, bagi saya mutu sebuah berita lebih pada unsur akurasi dan kedalamannya.

Kalau hanya melihat judul berita, rasanya banyak pembaca yang berharap mendapatkan informasi yang luar biasa. Tapi, judul itu kebanyakan sekadar gagah-gagahan saja.

Makanya, saya tetap lebih suka dengan media cetak yang sudah punya kredibilitas tinggi. Hanya saja, mungkin karena saya tidak berlangganan, tidak gampang bagi saya mendapatkan media cetak seperti dulu.

Tak ada lagi penjual koran yang mangkal di halte bus dan sangat langka yang berkeliling pakai sepeda menyusuri jalan kecil di kawasan pemukiman.

Alhasil, saya membaca media cetak dalam versi online dengan sedikit memaksakan mata, meskipun kurang nyaman membacanya. 

Saya sering bertanya-tanya, seberapa peduli pihak manajemen media daring dengan mutu berita? Apakah yang menjadi target hanya memburu klik dan menangguk iklan, hingga iklannya bertumpuk-tumpuk membuat sakit mata pembaca.

Tapi, memang ada media yang peduli dengan kesehatan pembaca? Kesehatan yang dimaksudkan bukan hanya fisik seperti mata, tapi terlebih lagi kesehatan mental.

Bukankah kalau media daring ikut-ikutan memburu viral seperti media sosial dengan memberitakan hal-hal yang bersifat sensasional, bisa berdampak kurang baik pada kesehatan mental pembaca yang kecanduan?

Memperhatikan perkembangan seperti itu, jelaslah, kalau dibandingkan dengan media cetak, media daring perlu mengasah lagi kepekaan dan tanggung jawab sosialnya.

Hal ini berakibat pada menurunnya kebanggaan menjadi wartawan. Dulu, wartawan identik dengan orang-orang yang punya intelektualitas tinggi.

Jadi, kalau wartawan mewawancarai narasumbernya yang jadi akdemisi atau pejabat, posisinya relatif setara. Dari pertanyaan yang diajukannya, terlihat kalau wartawan menguasai masalah yang jadi topik wawancara.

Sekarang, boleh dikatakan bahwa semua orang bisa saja memproduksi berita, kalaupun bukan di portal media daring, bukankah bisa ditulis di akun media sosialnya?

Tak perlu turun ke lapangan, bisa sekadar meneruskan berita dari orang lain, bisa dengan meng-copy paste dan seolah-olah jadi tulisan sendiri atau mengubah sedikit terlebih dahulu. Jujur dalam menulis menjadi hal yang langka.

Kalau dicermati, pada media konvensional, ada pelatihan khusus bagi wartawan yang berjenjang dari level pemula hingga yang mahir.

Kemudian, ada beberapa lapis pemeriksaan sebelum berita yang ditulis seorang wartawan disetujui oleh atasannya untuk dimuat di media cetak.

Selain itu, ada kode etik jurnalistik yang menjadi pedoman bagi wartawan dalam bertingkah laku, Dengan demikian, jelas apa yang dibolehkan dan yang tidak dibolehkan. Tentu saja, soal integritas menjadi yang utama.

Menjadi seorang wartawan profesional memang tidak gampang, karena harus menulis secara independen, akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.

Semua itu, ada mekanisme pertanggungjawabannya. Bahkan, bila ada pihak yang merasa dirugikan dengan sebuah berita, hak jawabnya difasilitasi oleh media yang memuat sebelumnya dan dilakukan koreksi secara proporsional.

Tentu, di masa lalu juga banyak terjadi hal yang bersifat negatif, seperti wartawan yang berburu amplop dari sumber berita yang ditulisnya.

Tapi, media massa yang kredibel sangat ketat dalam mendisiplinkan para wartawannya. Yang ketahuan menerima amplop, tanpa ampun langsung dipecat.

Jelaslah, betapa besar peran yang bisa dimainkan oleh pers dalam menggiring masyarakat ke arah yang lebih baik. Makanya, media sekarang jangan terlena dengan jumlah klik tapi miskin makna.

Lanjutkanlah tradisi wartawan jadul yang telah berhasil menciptakan nilai tambah dalam konteks mencerdaskan kehidupan bangsa. Bangunlah jurnalisme yang sehat dan mencerahkan.

Jangan lupa, pers Indonesia pernah mencatat sejarah emas sebagai pengawal demokrasi yang bersama gerakan mahasiswa sangat besar kontribusinya melahirkan orde reformasi.

Jangan sampai sekarang malah menyuburkan berita-berita bombastis tapi kering makna. Citizen journalism atau jurnalisme warga memungkinkan semua orang menjadi wartawan, tapi tetap perlu sentuhan idealisme.

Demikian, sekadar renungan dalam rangka merayakan HPN 2022 (Hari Pers Nasional) yang jatuh pada tanggal 9 Februari 2022 lalu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun