Hal ini berakibat pada menurunnya kebanggaan menjadi wartawan. Dulu, wartawan identik dengan orang-orang yang punya intelektualitas tinggi.
Jadi, kalau wartawan mewawancarai narasumbernya yang jadi akdemisi atau pejabat, posisinya relatif setara. Dari pertanyaan yang diajukannya, terlihat kalau wartawan menguasai masalah yang jadi topik wawancara.
Sekarang, boleh dikatakan bahwa semua orang bisa saja memproduksi berita, kalaupun bukan di portal media daring, bukankah bisa ditulis di akun media sosialnya?
Tak perlu turun ke lapangan, bisa sekadar meneruskan berita dari orang lain, bisa dengan meng-copy paste dan seolah-olah jadi tulisan sendiri atau mengubah sedikit terlebih dahulu. Jujur dalam menulis menjadi hal yang langka.
Kalau dicermati, pada media konvensional, ada pelatihan khusus bagi wartawan yang berjenjang dari level pemula hingga yang mahir.
Kemudian, ada beberapa lapis pemeriksaan sebelum berita yang ditulis seorang wartawan disetujui oleh atasannya untuk dimuat di media cetak.
Selain itu, ada kode etik jurnalistik yang menjadi pedoman bagi wartawan dalam bertingkah laku, Dengan demikian, jelas apa yang dibolehkan dan yang tidak dibolehkan. Tentu saja, soal integritas menjadi yang utama.
Menjadi seorang wartawan profesional memang tidak gampang, karena harus menulis secara independen, akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.
Semua itu, ada mekanisme pertanggungjawabannya. Bahkan, bila ada pihak yang merasa dirugikan dengan sebuah berita, hak jawabnya difasilitasi oleh media yang memuat sebelumnya dan dilakukan koreksi secara proporsional.
Tentu, di masa lalu juga banyak terjadi hal yang bersifat negatif, seperti wartawan yang berburu amplop dari sumber berita yang ditulisnya.
Tapi, media massa yang kredibel sangat ketat dalam mendisiplinkan para wartawannya. Yang ketahuan menerima amplop, tanpa ampun langsung dipecat.