Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Anak Obesitas: Pertanda Kemakmuran, Kemanjaan, atau Korban Pelampiasan?

27 Januari 2022   08:01 Diperbarui: 27 Januari 2022   08:15 634
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Anak bungsu saya, satu-satunya cewek dari tiga bersaudara, ketika kecil hingga tamat SD, badannya lumayan gemuk. Sangat berbeda dengan dua kakaknya saat masih anak-anak dan remaja.

Memang, nafsu makan si bungsu ini agak sulit direm. Padahal, ia juga tidak rajin berolahraga atau bermain yang sifatnya bergerak secara fisik.

Saya sempat cemas bila misalnya saat SMP, yang bersamaan dengan datangnya masa puber, si bungsu tidak punya rasa percaya diri karena tubuhnya tidak sesuai dengan standar ideal.

Ingat, bagi anak  gadis, tentu masalah penampilan menjadi hal penting. Apalagi kalau ia sampai di-bully teman-temannya, bisa makin runyam lagi.

Untunglah, meskipun saya dan istri tidak terlalu ketat mengatur pola makannya, sejak SMP ia mampu mengendalikan nafsu makannya.

Lalu, seiring dengan tubuhnya yang semakin meninggi, si bungsu tidak lagi terlihat gemuk, bahkan menurut saya agak kurus dan bertahan sampai sekarang.

Tapi, keponakan saya ada yang ketika kecil normal-normal saja, lalu sejak masuk SD hingga sekarang sudah jadi mahasiswa, tubuhnya sudah jauh melewati batas ideal.

Dari pengamatan sekilas, anak-anak yang menderita obesitas cenderung semakin banyak. Ini gampang ditemui di sekolah-sekolah atau di tempat yang menyediakan fasilitas permainan bagi anak-anak.

Sebetulnya, orang tua zaman sekarang banyak yang menyadari bahwa anak yang obesitas bukanlah kondisi yang diharapkan. Kalau dulu, memang ada yang menganggap lucu dan menggemaskan.

Hanya saja, banyak orang tua yang tidak berhasil mendisiplinkan anaknya agar bisa menerapkan pola hidup sehat dan sekaligus mengurangi kegemukan. 

Ketidakberhasilan orang tua tersebut, kalau dipikir-pikir, ya karena ketidaktegaan orang tua itu sendiri karena berbagai alasan.

Pertama, karena kehidupannya yang semakin baik secara ekonomi sehingga mampu membeli aneka makanan untuk anak-anaknya. Bayangkan jika anak-anak sering mengkonsumsi makanan cepat saji atau camilan yang manis-manis, tubuhnya akan cepat melar.

Orang tua yang makmur tapi waktu kecilnya dulu hidup sederhana karena keterbatasan ekonomi, mungkin ingat betapa tidak enaknya bila mau jajan, namun tidak bisa. Sekarang, mereka tak ingin hal itu terjadi pada anak-anaknya.

Kedua, orang tua  yang dari awal memang cenderung mengakomodir kemanjaan anak-anaknya. Ini antara lain karena dampak keberhasilan program Keluarga Berencana (KB).

Makanya, berbeda dengan zaman dulu ketika para orang tua punya anak banyak, sekarang rata-rata satu rumah tangga hanya punya 2 atau 3 orang anak. Karena anaknya sedikit, tentu kasih sayang terpusat ke anak-anak tersebut.

Ketiga, sekarang eranya kesetaraan pria dan wanita dalam berkarir di berbagai bidang. Sangat lazim bila suami dan istri sama-sama sibuk bekerja.

Akibatnya, anak-anak kurang mendapat perhatian dan melampiaskannya dengan makanan yang kebablasan. Hal ini dibiarkan orang tua sebagai kompensasi rasa bersalahnya yang tidak menyediakan cukup waktu dalam mendampingi anak-anak.

Asisten rumah tangga (ART) pun sengaja membiarkan anak-anak yang diasuhnya melahap makanan, agar si ART bebas bermain gawai atau menonton sinetron di televisi.

Begitulah, para orang tua perlu melihat kembali bagaimana pola makan anak-anaknya, demi masa depan mereka. Hal ini relevan dengan "Hari Gizi 2022" yang diperingati pada 25 Januari 2022 kemarin.

Adapun tema peringatan tahun ini adalah "Aksi Bersama Cegah Stunting dan Obesitas". Jelaslah bahwa pemerintah telah menyadari bukan hanya stunting yang jadi masalah. Tapi, kondisi yang sebaliknya, yakni obesitas, juga sama berbahayanya. 

Anak-anak dan remaja adalah harapan masa depan bangsa. Maka, persoalan pertumbuhan dan perkembangan anak secara sehat, perlu mendapat perhatian serius.

Dalam hal ini ada dua kondisi ekstrim yang perlu diatasi, yakni stunting yang ditandai dengan tinggi badan anak yang di bawah standar usianya. Sedangkan obesitas ditandai dengan kelebihan berat badan hingga di atas standar untuk usianya.

Kalau stunting sudah dikenal sebagai hal yang tidak sehat, terhadap anak yang gemuk mungkin masih saja ada sebagian masyarakat yang menganggap sebagai pertanda sehat.

Apalagi, saat ini anak-anak sudah banyak yang keranjingan bermain gawai. Jika mereka sangat jarang bergerak dan sering makan makanan cepat saji atau ngemil, membuat anak-anak bisa menderita obesitas.

Lebih lanjut, anak yang obesitas nantinya berpotensi mengidap penyakit berat seperti diabetes atau penyakit lain yang berkaitan dengan kolesterol yang melampaui batas. Makanya, mari cegah obesitas sejak dini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun