Tiket berupa kartu elektronik itu nantinya ditempel pada pagar pembatas sebelum memasuki peron, agar pagar  tersebut terbuka.
Kartu itu berupa deposit prabayar yang nilainya akan berkurang setelah penumpang turun dan menempelkan kartu di pagar keluar peron di stasiun tujuan.
Saya juga melihat ketertiban penumpang dengan budaya antre yang baik saat naik dan turun kereta, sesuatu yang hingga sekarang di KRL Jabodetabek belum sepenuhnya berjalan pada jam-jam sibuk.
Penumpang yang baru pertama kali naik MRT di Singapura tak perlu takut tersasar, karena di papan informasi elektronik lengkap disajikan jadwal dan tujuan kereta serta stasiun apa saja yang dilewati.Â
Ada pula peta rute MRT baik di peron maupun di dalam kereta. Selain itu, ada lagi informasi langsung memakai pengeras suara yang dibutuhkan penumpang saat menunggu di peron dan saat di dalam kereta.
Nah, saya masih bernostalgia, kali ini berlanjut pada tahun 1997-1999, saat saya jadi pelanggan tetap KRL, dengan membeli kartu abonemen yang berlaku selama 1 bulan. Murah sekali kalau berlangganan seperti itu.Â
Ketika itu rute saya adalah dari stasiun Tebet ke Bogor pulang pergi, karena saya mengikuti program magister di IPB, setelah lolos seleksi di kantor tempat saya bekerja.
Saya kuliah dengan biaya dinas dan sebetulnya dapat semacam uang kontrak rumah di Bogor. Tapi, dengan pertimbangan ingin dekat keluarga, saya tetap memilih tinggal di Tebet, Jakarta Selatan.
Harga abonemen memang murah. Tapi, betapa tersiksanya saya kalau lagi jam sibuk naik KRL berdesak-desakan dan terpaksa berdiri sepanjang perjalanan.
Semakin tersiksa lagi bila dalam kondisi hujan. Soalnya jendela terbuka, sehingga air hujan, terutama hujan yang disertai angin, akan mengguyur sebagian penumpang.