Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

"Jarimu Harimaumu" Sama Berbahayanya dengan "Mulutmu Harimaumu"

4 Februari 2022   05:59 Diperbarui: 4 Februari 2022   06:00 1666
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ungkapan "mulutmu harimaumu" sudah dari dulu kita kenal. Biasanya disampaikan oleh orang tua kepada para remaja agar berhati-hati dalam berkata-kata.

Salah ucap yang meyebabkan orang lain tersinggung bisa berakibat fatal. Tak sedikit terjadi kasus pembunuhan hanya diawali oleh tersinggungnya seseorang atas ucapan orang lain terhadap dirinya.

Padahal, bisa jadi maksud orang yang melontarkan kata-kata hanya sekadar bercanda atau sekadar keseleo lidah yang mengakibatkan orang lain salah persepsi dalam mencerna kata-kata itu.

Meskipun terjadi suatu aksi pembalasan dari yang tersinggung, tapi di zaman dulu hanya melibatkan sedikit orang, terbatas pada orang yang mendengar secara langsung ucapan yang menyinggung itu tadi.

Nah, di zaman sekarang, sejak maraknya penggunaan media sosial oleh hampir semua orang, maka dampak dari sebuah ucapan bisa menyinggung perasaan jutaan orang.

Misalnya ucapan itu menyinggung penganut agama tertentu atau menghina etnis tertentu, bisa terbayang betapa banyaknya yang tersinggung.

Soalnya, berkat kemajuan teknologi informasi, ucapan tersebut bila direkam dalam video dan kemudian diunggah di media sosial, akan sangat cepat tersebar.

Itulah yang menimpa Edy Mulyadi yang mengatakan lokasi Ibu Kota Negara (IKN) yang baru, yang telah diberi nama "Nusantara", sebagai tempat jin buang anak.

Akibatnya, tentu saja banyak warga Kalimantan yang melaporkan Edy Mulyadi ke pihak kepolisian. Seperti diketahui, IKN Nusantara berlokasi di Kalimantan Timur.

Berita terbaru, Edy Mulyadi telah ditetapkan sebagai tersangka ujaran kebencian SARA dan bahkan telah ditahan polisi (Detik.com, 31/1/2022).

Sebelum kasus Edy Mulyadi mencuat, cuitan Ferdinand Hutahaean di media sosial juga telah menuai protes dari banyak orang. Sekarang Ferdinand sudah menjadi tersangka dan ditahan oleh pihak kepolisian.

Cuitan tersebut berbunyi seperti ini: "Kasihan sekali Allahmu ternyata lemah harus dibela. Kalau aku sih Allahku luar biasa, maha segalanya, Dialah pembelaku selalu dan tidak perlu dibela," seperti dimuat cnnindonesia.com (17/1/2022).

Memang, seperti juga Edy Mulyadi, Ferdinand Huahaean telah meminta maaf kepada masyarakat yang tersinggung atas ciutannya.

Masalahnya, permintaan maaf tersebut tidak berarti kasusnya tidak akan diproses secara hukum. Masih panjang prosedur yang harus dilalui Edy dan Ferdinand hingga mendapatkan vonis dari hakin yang nanti akan menyidangkan perkaranya.

Cukup sudah kedua kasus di atas menjadi contoh bagi kita agar hati-hati dalam mengemukakan pendapat, baik melalui perkataan maupun tulisan.

Jangan sampai ada yang berpikiran bahwa untuk jadi ngetop perlu cara yang unik, antara lain dengan menyatakan hal yang bersifat tendensius dan menimbulkan kehebohan di tengah masyarakat.

Untuk apa ngetop bila akhirnya berurusan dengan aparat penegak hukum dan bahkan bisa mendapatkan hukuman penjara.

Tak ada jalan lain, nasehat orang tua zaman dulu "mulutmu harimaumu" tetap relevan untuk kita pegang teguh, bahkan semakin terasa pentingnya.

Pikir dulu matang-matang sebelum melontarkan seseuatu. Berbicara secara spontan boleh-boleh saja, tapi untuk topik yang tidak ada muatan SARA.

Misalnya sedang membahas topik jenis makanan yang enak, membahas pertandingan sepak bola, film yang baru selesai ditonton, atau topik ringan lainnya, silakan saja berbicara secara spontan.

Bukan berarti kita tidak boleh mengkritisi kebijakan pemerintah. Hanya saja, harus dilakukan secara hati-hati, dengan argumen yang logis dan dengan niat yang baik.

Jika dilakukan dengan gaya yang main hantam kromo, mencaci, menghina, dan terkesan mengandung unsur kebencian, nah inilah yang akan menjadi "harimau" yang akan menerkam diri sendiri.

Bukan hanya mulut yang jadi "harimau", tapi juga jari. Bukankah sekarang hampir semua orang sibuk memainkan jarinya di gawai, mengirimkan pesan, komen, dan unggahan lainnya.

Kalau Edy Mulyadi terjerembab gara-gara mulut, Ferdinand gara-gara jari. Keduanya sama-sama menuai badai dari angin yang ditaburnya.  Siapa yang menabur angin akan menuai badai. Dia yang berbuat, dia yang terkena akibatnya.

.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun