Apalagi sejak pemerintah meluncurkan elpiji bersubsidi pada tahun 2007, telah berdampak besar dengan ditinggalkannya minyak tanah sebagai bahan bakar untuk memasak.
Rupanya pemerintah memang telah merancang program konversi dari minyak tanah ke elpiji, karena minyak tanah juga disubsidi dan menguras anggaran negara dalam jumlah yang lebih besar ketimbang subsidi gas.
Di lain pihak, gas yang dialirkan ke rumah-rumah oleh Perusahaan Gas Negara (PGN), entah kenapa tidak begitu diminati oleh masyarakat.
Bahkan, masyarakat kelas atas pun relatif belum banyak yang menjadi pelanggan PGN. Bisa jadi kapasitas PGN relatif terbatas dan perlu investasi besar buat memasang pipa yang dialiri gas.
Alhasil, kebutuhan masyarakat akan elpiji atau yang sering kita sebut sebagai gas dalam tabung, sangat tinggi.Â
Ada beberapa jenis ukuran gas elpiji, antara lain ukuran 3 kg, 5,5 kg dan 12 kg. Khusus yang ukuran 3 kg, harganya disubsidi pemerintah.
Nah, berita terbaru, sekarang harga elpiji naik untuk yang nonsubsidi. Jelas hal ini sedikit banyaknya memberatkan masyarakat.
Apalagi harga beberapa kebutuhan pokok, seperti minyak goreng, cabai dan telur ayam juga mengalami kenaikan.
Memang, masih ada peluang mendapatkan elpiji bersubsidi. Bagi pembeli elpiji 3 kg tidak perlu membuktikan bahwa ia masuk kelompok miskin.
Tapi, di situlah masalahnya, yakni tidak terkontrolnya siapa saja yang berhak membeli gas bersubsidi. Akibatnya, berburu elpiji yang disubsidi bukan hal yang gampang karena sering langka di pasaran.Â
Selain ironi karena masyarakat yang bukan miskin bisa membeli gas melon (nama yang populer buat gas 3 kg karena berwarna hijau melon), ada pula oknum pedagang yang bermain curang demi meraup untung besar.