Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Harga Elpiji Naik, Jangan Sampai Masyarakat Tercekik

2 Januari 2022   04:50 Diperbarui: 4 Januari 2022   06:00 1885
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Elpiji|Dok: Humas Pertamina, dimuat Kompas.com

Kebetulan saya mengalami secara langsung bagaimana terjadinya "evolusi" dalam penggunaan bahan bakar untuk memasak di tingkat rumah tangga, khususnya masyarakat kelas menengah ke bawah.

Hingga dekade 70-an ibu saya masih memasak memakai kayu bakar yang disusun bersilang di sebuah tungku dari beberapa batu bata yang disusun membentuk huruf "U" dalam posisi terbalik. 

Sangat gampang mendapatkan kayu bakar saat itu karena ada pedagang keliling yang lewat di depan rumah. Kayu tersebut dipotong-potong sepanjang sekitar 30 cm dan diikat setiap 6-7 potong.

Ketika itu saya masih kecil dan tinggal di Payakumbuh, Sumatera Barat. Tapi, di tempat lain pun, dugaan saya penggunaan kayu bakar untuk memasak merupakan hal yang lazim.

Kemudian, di dekade 80-an, baru ibu saya lebih sering memakai kompor minyak tanah. Lebih praktis ketimbang kayu bakar yang apinya tidak stabil sehingga terkadang harus ditiup.

Sejak 1986 saya berdomisili di Jakarta dan melihat mulai banyak rumah tangga memakai kompor gas elpiji. Inilah cara yang paling praktis karena tinggal memutar tombol saja.

Namun demikian, bagi mereka yang tinggal di gang-gang kecil, masih sering mendengar terikan "Nyaaaaaak.......nyaaaak" dari pedagang minyak tanah keliling.

Artinya, rumah tangga yang menggunakan kompor minyak tanah di saat itu juga masih relatif banyak. Baru pada dekade 90-an, ibu-ibu yang memasak pakai kompor gas elpiji semakin mendominasi.

Kalau dulunya yang memakai gas hanya kalangan menengah ke atas, maka pada dekade 90-an tersebut masyarakat kelas bawah pun sebagian sudah beralih ke elpiji. 

Berikutnya, sejak tahun 2000-an pemakaian elpiji semakin melebar ke kampung-kampung, termasuk juga di kampung saya di Sumatera Barat.

Apalagi sejak pemerintah meluncurkan elpiji bersubsidi pada tahun 2007, telah berdampak besar dengan ditinggalkannya minyak tanah sebagai bahan bakar untuk memasak.

Rupanya pemerintah memang telah merancang program konversi dari minyak tanah ke elpiji, karena minyak tanah juga disubsidi dan menguras anggaran negara dalam jumlah yang lebih besar ketimbang subsidi gas.

Di lain pihak, gas yang dialirkan ke rumah-rumah oleh Perusahaan Gas Negara (PGN), entah kenapa tidak begitu diminati oleh masyarakat.

Bahkan, masyarakat kelas atas pun relatif belum banyak yang menjadi pelanggan PGN. Bisa jadi kapasitas PGN relatif terbatas dan perlu investasi besar buat memasang pipa yang dialiri gas.

Alhasil, kebutuhan masyarakat akan elpiji atau yang sering kita sebut sebagai gas dalam tabung, sangat tinggi. 

Ada beberapa jenis ukuran gas elpiji, antara lain ukuran 3 kg, 5,5 kg dan 12 kg. Khusus yang ukuran 3 kg, harganya disubsidi pemerintah.

Nah, berita terbaru, sekarang harga elpiji naik untuk yang nonsubsidi. Jelas hal ini sedikit banyaknya memberatkan masyarakat.

Apalagi harga beberapa kebutuhan pokok, seperti minyak goreng, cabai dan telur ayam juga mengalami kenaikan.

Memang, masih ada peluang mendapatkan elpiji bersubsidi. Bagi pembeli elpiji 3 kg tidak perlu membuktikan bahwa ia masuk kelompok miskin.

Tapi, di situlah masalahnya, yakni tidak terkontrolnya siapa saja yang berhak membeli gas bersubsidi. Akibatnya, berburu elpiji yang disubsidi bukan hal yang gampang karena sering langka di pasaran. 

Selain ironi karena masyarakat yang bukan miskin bisa membeli gas melon (nama yang populer buat gas 3 kg karena berwarna hijau melon), ada pula oknum pedagang yang bermain curang demi meraup untung besar.

Kecurangan dimaksud adalah dengan mengoplos gas, di mana gas bersubsidi dipindahkan ke gas nonsubsidi. Gas oplosan ini sebetulnya rawan bocor sehingga berpotensi menimbulkan kebarakaran.

Inilah dilema bagi masyarakat kelas bawah yang mulai terbiasa dengan elpiji. Kembali ke era minyak tanah, jelas bukan jawaban.

Semoga pemerintah dan pihak terkait lainnya segera membenahi distribusi elpiji dan kenaikan harga jangan sampai membuat masyarakat tercekik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun