Kebetulan saya mengalami secara langsung bagaimana terjadinya "evolusi" dalam penggunaan bahan bakar untuk memasak di tingkat rumah tangga, khususnya masyarakat kelas menengah ke bawah.
Hingga dekade 70-an ibu saya masih memasak memakai kayu bakar yang disusun bersilang di sebuah tungku dari beberapa batu bata yang disusun membentuk huruf "U" dalam posisi terbalik.Â
Sangat gampang mendapatkan kayu bakar saat itu karena ada pedagang keliling yang lewat di depan rumah. Kayu tersebut dipotong-potong sepanjang sekitar 30 cm dan diikat setiap 6-7 potong.
Ketika itu saya masih kecil dan tinggal di Payakumbuh, Sumatera Barat. Tapi, di tempat lain pun, dugaan saya penggunaan kayu bakar untuk memasak merupakan hal yang lazim.
Kemudian, di dekade 80-an, baru ibu saya lebih sering memakai kompor minyak tanah. Lebih praktis ketimbang kayu bakar yang apinya tidak stabil sehingga terkadang harus ditiup.
Sejak 1986 saya berdomisili di Jakarta dan melihat mulai banyak rumah tangga memakai kompor gas elpiji. Inilah cara yang paling praktis karena tinggal memutar tombol saja.
Namun demikian, bagi mereka yang tinggal di gang-gang kecil, masih sering mendengar terikan "Nyaaaaaak.......nyaaaak" dari pedagang minyak tanah keliling.
Artinya, rumah tangga yang menggunakan kompor minyak tanah di saat itu juga masih relatif banyak. Baru pada dekade 90-an, ibu-ibu yang memasak pakai kompor gas elpiji semakin mendominasi.
Kalau dulunya yang memakai gas hanya kalangan menengah ke atas, maka pada dekade 90-an tersebut masyarakat kelas bawah pun sebagian sudah beralih ke elpiji.Â
Berikutnya, sejak tahun 2000-an pemakaian elpiji semakin melebar ke kampung-kampung, termasuk juga di kampung saya di Sumatera Barat.