Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Bukan Sekadar Anak Manis, Lebih Penting Menjadi Anak Kritis

30 Desember 2021   06:40 Diperbarui: 30 Desember 2021   06:50 882
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kemajuan suatu negara sangat tergantung dengan kemajuan yang dicapai negara tersebut di bidang pendidikan. Dalam hal ini, semua jenjang pendidikan dinilai sama pentingnya.

Mulai dari pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, hingga pendidikan tinggi, masing-masing berperan besar untuk menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas.

Sebuah negara bisa saja mempunyai kekayaan alam melimpah, tapi bila sumber daya manusianya kurang berkualitas, akhirnya akan jadi "objek" yang dimanfaatkan oleh tenaga kerja asing (TKA).

Tenaga kerja lokal tentu akan ditampung, hanya saja lebih banyak untuk mengisi posisi level menengah ke bawah dalam struktur organisasi sebuah perusahaan besar. Sedangkan untuk mengisi posisi level menengah ke atas, TKA dianggap lebih piawai. 

Agar bangsa kita tidak sekadar jadi anak buah TKA, tak bisa tidak, mutu pendidikan kita harus ditingkatkan dengan mengadaptasi sistem yang berlaku di beberapa negara yang telah terbukti unggul pendidikannya.

Ada banyak komponen dalam bidang pendidikan, salah satunya adalah kurikulum yang menjadi pedoman bagi para guru dalam mendidik siswa-siswinya.

Menarik bahwa saat ini di media massa ramai dibahas adanya "Kurikulum Prototipe" yang merupakan kurikulum baru dan menjadi salah satu dari tiga opsi yang dapat dipilih untuk diterapkan di sekolah-sekolah.

Tulisan ini tidak akan membahas secara rinci apa itu kurikulum prototipe. Tapi, dengan kurikulum tersebut ada satu hal yang cukup menantang, yakni tidak ada penjurusan IPA, IPS, dan Bahasa, seperti yang selama ini berlaku di semua SMA. 

Kira-kira apa konsekuensinya bagi siswa bila penjurusan tersebut tidak ada? Pasti ada yang kecewa, dan ada pula yang gembira.

Yang kecewa kemungkinan besar adalah anak-anak (dan juga orang tuanya) yang tergolong pintar dan ingin kepintarannya seolah mendapat pengakuan bila mereka masuk jurusan IPA.

Tapi, tak semua anak pintar akan kecewa. Mereka yang memandang enteng anak IPS mungkin kecewa bila tidak ada penjurusan.

Namun, anak yang betul-betul menyukai ilmu apapun dan menganggap IPA dan IPS sama pentingnya, justru akan bergembira.

Dengan penjurusan akan membuat mereka terkotak-kotak, tidak bebas memilih ilmu yang disukainya, serta kehilangan kesempatan untuk mendapat mata pelajaran yang hanya diberikan pada jurusan lain. 

Demikian pula anak-anak yang sudah merasa pasti akan masuk kelas IPS atau Bahasa, sebagian akan gembira karena masih satu kelas dengan anak-anak yang berpotensi masuk IPA, sehingga semangat belajarnya masih terpacu.

Tapi, anak-anak yang ingin mendapat label kelas IPS sebagai pembenaran untuk bergaya santai dan hura-hura, mungkin akan kecewa, karena penjurusan dihapuskan.

Boleh-boleh saja anak IPA merasa bangga. Tapi, dalam dunia kerja kelak, anak-anak eksakta yang kurang gaul dan tidak punya pengalaman berorganisasi bisa kalah bersaing dengan mereka yang dari ilmu sosial tapi punya soft skill yang baik.

Sebetulnya, semua ilmu saling melengkapi. Katakanlah sewaktu kuliah, ilmu yang berkaitan dengan kedokteran dianggap lebih sulit dan hanya bisa dipelajari anak-anak yang pintar.

Namun, ketika di dunia kerja, para dokter tetap perlu mengetahui aspek ekonomi yang berkaitan dengan kesehatan dan juga aspek hukum kedokteran.

Jadi, katakanlah kurikulum prototipe ini semacam eksperimen yang mudah-mudahan bisa menuai hasil yang lebih baik ketimbang kurikulum yang masih dengan tajam membelah siswa dalam jurusan tertentu.

Dengan penjurusan, telah terbentuk citra anak IPA sebagai anak pintar, serius, dan kutu buku. Sedangkan anak IPS bergaya santai, anak gaul, sering di kantin sekolah, dan malas mengerjakan PR.

Citra tersebut belum tentu betul, makanya diharapkan akan tereliminir melalui kurikulum prototipe. Apalagi, seperti telah disinggung di atas, dalam meniti karir nantinya tidak otomatis yang dulunya jurusan eksakta lebih sukses ketimbang jurusan sosial.

Bahkan sudah banyak contoh, orang yang ketika di sekolah bernilai pas-pasan, berhasil mendirikan kerajaan bisnis dan mempekerjakan teman-temannya yang dulu di eksakta. Jadi, yang eks IPA jadi anak buah yang eks IPS.

Terlepas dari soal penjurusan, sebetulnya baik di IPA maupun IPS, secara umum sistem pendidikan kita belum mampu menerapkan pembelajaran yang bersifat interaktif.

Selama ini proses pembelajaran lebih bersifat searah dan siswa-siswa dituntut agar menjadi anak  manis, bukan anak yang kritis.

Para siswa lebih banyak diminta untuk menghafal, bukan memancing munculnya kreativitas. Hanya mengulang kembali apa yang dijelaskan guru, bukan melatih berdiskusi.

Tak heran, jika nantinya mereka bekerja di perusahaan asing, memang ada pujian dari bos-bos bule bahwa staf asal Indonesia bersikap baik, patuh, sopan, dan sejenis itu. Tapi, bos bule biasanya meminta staf asal Indonesia agar lebih banyak speak up.

Semoga saja kurikulum prototipe mampu menjadi jawaban agar putra putri pewaris bangsa akan membawa Indonesia menuju era keemasannya.

.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun