Kemajuan suatu negara sangat tergantung dengan kemajuan yang dicapai negara tersebut di bidang pendidikan. Dalam hal ini, semua jenjang pendidikan dinilai sama pentingnya.
Mulai dari pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, hingga pendidikan tinggi, masing-masing berperan besar untuk menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas.
Sebuah negara bisa saja mempunyai kekayaan alam melimpah, tapi bila sumber daya manusianya kurang berkualitas, akhirnya akan jadi "objek" yang dimanfaatkan oleh tenaga kerja asing (TKA).
Tenaga kerja lokal tentu akan ditampung, hanya saja lebih banyak untuk mengisi posisi level menengah ke bawah dalam struktur organisasi sebuah perusahaan besar. Sedangkan untuk mengisi posisi level menengah ke atas, TKA dianggap lebih piawai.Â
Agar bangsa kita tidak sekadar jadi anak buah TKA, tak bisa tidak, mutu pendidikan kita harus ditingkatkan dengan mengadaptasi sistem yang berlaku di beberapa negara yang telah terbukti unggul pendidikannya.
Ada banyak komponen dalam bidang pendidikan, salah satunya adalah kurikulum yang menjadi pedoman bagi para guru dalam mendidik siswa-siswinya.
Menarik bahwa saat ini di media massa ramai dibahas adanya "Kurikulum Prototipe" yang merupakan kurikulum baru dan menjadi salah satu dari tiga opsi yang dapat dipilih untuk diterapkan di sekolah-sekolah.
Tulisan ini tidak akan membahas secara rinci apa itu kurikulum prototipe. Tapi, dengan kurikulum tersebut ada satu hal yang cukup menantang, yakni tidak ada penjurusan IPA, IPS, dan Bahasa, seperti yang selama ini berlaku di semua SMA.Â
Kira-kira apa konsekuensinya bagi siswa bila penjurusan tersebut tidak ada? Pasti ada yang kecewa, dan ada pula yang gembira.
Yang kecewa kemungkinan besar adalah anak-anak (dan juga orang tuanya) yang tergolong pintar dan ingin kepintarannya seolah mendapat pengakuan bila mereka masuk jurusan IPA.
Tapi, tak semua anak pintar akan kecewa. Mereka yang memandang enteng anak IPS mungkin kecewa bila tidak ada penjurusan.