Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Harapan Melambung Petani Jahe, Sekarang Terancam Kere

15 Januari 2022   07:47 Diperbarui: 16 Januari 2022   02:18 13959
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pedagang rempah - rempah membersihkan jahe di Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta Timur, Jumat, (13/3/2020). Harga Jahe merah naik pasca virus corona terdeteksi pertama kali di Indonesia pada 2 Maret lalu. Harga Jahe merah menembus angka Rp.100.000/kg.(KOMPAS.com/Syahrul Ramdhani)

Sekarang ini merupakan hari-hari yang berat bagi banyak ibu rumah tangga. Kehidupan yang harus terus berlanjut, terhimpit beban kenaikan harga barang-barang yang termasuk kebutuhan pokok.

Sebut saja seperti minyak goreng, cabai, bawang merah, telur ayam, semuanya mengalami kenaikan harga. Tentu saja ibu-ibu banyak yang menjerit, padahal uang belanja dari suaminya tidak bertambah.

Untuk bapak-bapak, bisa bertahan bekerja saja sudah bagus, mengingat sejak pandemi Covid-19 melanda negara kita, banyak perusahaan yang melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap para pekerjanya.

Nah, dalam kondisi seperti itu, ada lagi berita terbaru, yakni harga elpiji naik. Seperti kita tahu, saat ini elpiji sudah menjadi bahan bakar utama dalam memasak bagi mayoritas kita, dari kota besar hingga ke desa-desa.

Alasan pemerintah menaikkan harga elpiji, kalau dibaca dari berita di media massa adalah karena mengikuti harga gas di pasar global yang juga naik.

Tapi, tak urung, sejumlah pengamat berpendapat momen pemerintah menaikkan harga elpiji kurang tepat. Yang jelas, daya beli masyarakat jadi menurun.

Tulisan ini tidak akan melanjutkan pembahasan tentang kenaikan harga. Namun, justru mengangkat produk pertanian rakyat yang mengalami sebaliknya, yakni penurunan harga yang tajam. 

Produk dimaksud adalah tanaman jahe, yang sebetulnya sejak terjadinya musibah pandemi sekitar 2 tahun lalu, pamornya naik bersama dengan produk lain seperti kunyit dan temulawak.

Jahe memang dari dulu telah dikonsumsi oleh nenek moyang kita karena banyak sekali manfaatnya untuk kesehatan. 

Dalam kaitannya dengan pandemi Covid-19, jahe diyakini mampu meningkatkan sistem imun, sehingga menjadi benteng dalam melawan virus.

Tak pelak lagi, sejak awal 2020, jahe diburu masyarakat. Akibatnya, harga jahe naik tajam dari Rp 20.000 per kilogram menjadi Rp 60.000. Ini data di Pasar Tebet Barat, Jakarta Selatan, pada Maret 2020.

Kalau sudah begitu, siapa yang tidak tergiur untuk ikut mengeruk keuntungan? Maka, para petani pun banyak yang menanam jahe. Bahkan, yang bukan petani pun ikut-ikutan membeli kebun dan mencari tenaga kerja buat berkebun jahe.

Contohnya, seorang kakak sepupu saya yang baru pensiun dari pegawai negeri sipil (PNS) di Pemprov DKI Jakarta. Ia tergoda membeli kebun seluas sekitar 0,6 hektar di kampung halamannya, Payakumbuh, Sumatera Barat.

Ia membeli kebun tersebut sekitar akhir 2020 lalu dan segera membersihkan lahan untuk ditanami jahe. Ada sepasang suami isteri yang memang petani di desa tempat kebun berada, bekerja untuk saudara sepupu saya itu.

Nah, pada akhir Desember 2021 lalu, sewaktu sebetulnya kebun jahe saudara sepupu itu telah siap untuk dipanen, ia bercerita sambil mengeluh.

Katanya, di tingkat petani, harga jahe hanya dihargai Rp 5.500 per kilogram. Betul-betul hancur, katanya.

Ya, harga di tingkat konsumen di pasar tentu lebih tinggi dari itu, tapi petani biasanya menjual kepada pengepul yang datang menjemput hasil panen.

Kata saudara saya itu, setelah dihitung-hitungnya dengan biaya yang telah dikeluarkannya, terutama dengan menghitung upah pekerja dan pupuk, harga jahe tersebut hanya sekadar pulang pokok (istilah Minang untuk kondisi tidak rugi dan tidak untung).

Saya mencoba menghibur dengan memaparkan sisi teori yang dulu pernah saya pelajari. Dalam hal ini saya menyarankan agar saudara saya itu konsisten berkebun jahe, karena nantinya harga akan kembali naik.

Soalnya, saya membayangkan para petani lain mulai meninggalkan tanaman jahe, sehingga jumlah produksi akan menurun. Nah, ketika itulah harga jahe akan naik, karena pada dasarnya masyarakat tetap butuh jahe meskipun pandemi sudah terkendali.

Para petani sebaiknya tidak ikut-ikutan dalam menanam sesuatu. Jangan karena semua orang menanam jahe, lalu yang lain ikut-ikutan, sehingga produksi tidak terserap pasar dan harga anjlok.

Yang bagus adalah petani yang bergerak mendahului kurva. Maksudnya adalah kurva permintaan dan penawaran yang dipelajari pada Pengantar Ilmu Ekonomi.

Ilustrasi jahe| Sumber: Pixabay/Brett_Hondow, dimuat jogja.suara.com
Ilustrasi jahe| Sumber: Pixabay/Brett_Hondow, dimuat jogja.suara.com

Ketika permintaan naik tajam sedangkan penawaran tidak bertambah, harga akan naik signifikan. Itulah yang terjadi pada produksi jahe di awal pandemi. Tapi, setelah banyak sekali petani yang menanam jahe, produksi melimpah dan harga turun tajam. 

Jadi, yang bisa memprediksi sebelum harga naik dan sudah menyiapkan kebun jahe, itu yang hebat dan memetik keuntungan berlipat ganda. Itulah yang disebut bergerak mendahului kurva.

Misalnya, saat di Wuhan (China) mulai ada wabah, dan di Indonesia belum lagi ada apa-apa, mereka yang punya penciuman bisnis tajam sudah berpikir produk apa yang akan laris manis begitu pandemi masuk ke Indonesia.

Sedangkan mereka yang ikut-ikutan, kalaupun masih menuai untung, biasanya relatif kecil, karena mereka terlambat start. Artinya, faktor ketepatan waktu jadi hal penting.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun