Tak pelak lagi, sejak awal 2020, jahe diburu masyarakat. Akibatnya, harga jahe naik tajam dari Rp 20.000 per kilogram menjadi Rp 60.000. Ini data di Pasar Tebet Barat, Jakarta Selatan, pada Maret 2020.
Kalau sudah begitu, siapa yang tidak tergiur untuk ikut mengeruk keuntungan? Maka, para petani pun banyak yang menanam jahe. Bahkan, yang bukan petani pun ikut-ikutan membeli kebun dan mencari tenaga kerja buat berkebun jahe.
Contohnya, seorang kakak sepupu saya yang baru pensiun dari pegawai negeri sipil (PNS) di Pemprov DKI Jakarta. Ia tergoda membeli kebun seluas sekitar 0,6 hektar di kampung halamannya, Payakumbuh, Sumatera Barat.
Ia membeli kebun tersebut sekitar akhir 2020 lalu dan segera membersihkan lahan untuk ditanami jahe. Ada sepasang suami isteri yang memang petani di desa tempat kebun berada, bekerja untuk saudara sepupu saya itu.
Nah, pada akhir Desember 2021 lalu, sewaktu sebetulnya kebun jahe saudara sepupu itu telah siap untuk dipanen, ia bercerita sambil mengeluh.
Katanya, di tingkat petani, harga jahe hanya dihargai Rp 5.500 per kilogram. Betul-betul hancur, katanya.
Ya, harga di tingkat konsumen di pasar tentu lebih tinggi dari itu, tapi petani biasanya menjual kepada pengepul yang datang menjemput hasil panen.
Kata saudara saya itu, setelah dihitung-hitungnya dengan biaya yang telah dikeluarkannya, terutama dengan menghitung upah pekerja dan pupuk, harga jahe tersebut hanya sekadar pulang pokok (istilah Minang untuk kondisi tidak rugi dan tidak untung).
Saya mencoba menghibur dengan memaparkan sisi teori yang dulu pernah saya pelajari. Dalam hal ini saya menyarankan agar saudara saya itu konsisten berkebun jahe, karena nantinya harga akan kembali naik.
Soalnya, saya membayangkan para petani lain mulai meninggalkan tanaman jahe, sehingga jumlah produksi akan menurun. Nah, ketika itulah harga jahe akan naik, karena pada dasarnya masyarakat tetap butuh jahe meskipun pandemi sudah terkendali.
Para petani sebaiknya tidak ikut-ikutan dalam menanam sesuatu. Jangan karena semua orang menanam jahe, lalu yang lain ikut-ikutan, sehingga produksi tidak terserap pasar dan harga anjlok.