Terlihat pula menara di sisi kanan masjid sehingga memperkuat ciri sebagai masjid. Soalnya, kalau dari kejauhan hanya melihat atap masjid, tidak berupa kubah bulat seperti masjid pada umumnya, tapi lebih bertipe arsitektur Jawa.
Berikutnya, tampak bangunan kuno yang berwibawa berupa ruang terbuka (tanpa dinding) dengan pilar-pilar antik. Â Tapi, ini bukan ruang utama masjid, walaupun bila jamaah melimpah, bisa juga difungsikan sebagai tempat salat.
Kemudian saya ke toilet dan ruang wudhu laki-laki yang berada di samping kiri ke arah menara. Sebagai masjid besar, cukup banyak tersedia kran air untuk berwuhu.
Setelah itu baru kami masuk ruang utama masjid di bagian dalam. Lumayan ramai jamaah yang ikut salat magrib ketika itu, memenuhi beberapa saf.
Termasuk jamaah wanita pun, yang salat di ruang terpisah, juga cukup banyak. Hal ini saya ketahui pas berjalan keluar masjid.
Pada malam hari, di bagian luar masjid (di area parkir) ramai dengan pedagang yang menjajakan makanan, mainan anak-anak, dan sebagainya.
Kembali ke referensi yang saya baca, ternyata sejarah Masjid Agung Solo sudah demikian lama, karena didirikan hampir 3 abad yang lalu.
Tadinya, karena ada angka 1859 di atas pintu toilet laki-laki, saya kira masjid tersebut dibangun tahun 1859. Ternyata malah jauh sebelum itu, yakni sekitar tahun 1749.
Masjid yang awalnya dinamakan Masjid Ageng Keraton Hadiningrat tersebut dibangun oleh Pakubuwono III dan masjid ini berperan penting dalam penyebaran agama Islam di Solo.
Sepanjang perjalanannya, masjid telah mengalami penambahan dan renovasi. Seperti pembangunan menara, dilakukan oleh Pakubuwono X.
Penambahan terakhir dilakukan oleh Pemerintah Kota Surakarta dengan membangun perpustakaan, poliklinik, dan kantor pengelola.