Masjid Agung Solo atau Masjid Agung Surakarta (nama resmi Solo adalah Surakarta), menjadi masjid yang saya pilih untuk menunaikan salat magrib, pada Sabtu (4/12/2021) lalu.
Ketika itu saya dan beberapa orang teman lagi berwisata tipis-tipis dengan rute Jakarta-Yogyakarta-Solo-Jakarta, dengan menginap di Solo selama 2 malam.
Sebetulnya, teman-teman saya tidak punya ide mau ke Masjid Agung. Begitu saya tanya "kita mau ke mana sore ini sebelum makan malam," teman-teman hanya bilang terserah saja.
Sesuai dengan kebiasaan saya, jika berkunjung ke suatu kota sering saya berkunjung ke Masjid Agung, Masjid Raya, atau masjid terbagus yang ada di kota tersebut.
Sudah beberapa kali saya ke Solo, tapi pada kunjungan-kunjungan sebelumnya belum sempat ke Masjid Agung. Alahamdulillah, kali ini kesampaian juga.
Ternyata lokasinya masih berdekatan dengan keraton, dan memang masjid ini disebut juga Masjid Agung Kraton Surakarta.Â
Sedangkan ukuran bangunan utama masjid (terdapat di bagian dalam) adalah 34,2 x 33,5 meter dan mampu menampung sekitar 2.000 jamaah (sumber: indonesiakaya.com)
Setelah memarkir kendaraan, kami langsung menuju masjid. Melihat gerbangnya yang antik, kami langsung tergoda untuk mengabadikannya.
Terlihat pula menara di sisi kanan masjid sehingga memperkuat ciri sebagai masjid. Soalnya, kalau dari kejauhan hanya melihat atap masjid, tidak berupa kubah bulat seperti masjid pada umumnya, tapi lebih bertipe arsitektur Jawa.
Berikutnya, tampak bangunan kuno yang berwibawa berupa ruang terbuka (tanpa dinding) dengan pilar-pilar antik. Â Tapi, ini bukan ruang utama masjid, walaupun bila jamaah melimpah, bisa juga difungsikan sebagai tempat salat.
Kemudian saya ke toilet dan ruang wudhu laki-laki yang berada di samping kiri ke arah menara. Sebagai masjid besar, cukup banyak tersedia kran air untuk berwuhu.
Termasuk jamaah wanita pun, yang salat di ruang terpisah, juga cukup banyak. Hal ini saya ketahui pas berjalan keluar masjid.
Pada malam hari, di bagian luar masjid (di area parkir) ramai dengan pedagang yang menjajakan makanan, mainan anak-anak, dan sebagainya.
Kembali ke referensi yang saya baca, ternyata sejarah Masjid Agung Solo sudah demikian lama, karena didirikan hampir 3 abad yang lalu.
Tadinya, karena ada angka 1859 di atas pintu toilet laki-laki, saya kira masjid tersebut dibangun tahun 1859. Ternyata malah jauh sebelum itu, yakni sekitar tahun 1749.
Masjid yang awalnya dinamakan Masjid Ageng Keraton Hadiningrat tersebut dibangun oleh Pakubuwono III dan masjid ini berperan penting dalam penyebaran agama Islam di Solo.
Sepanjang perjalanannya, masjid telah mengalami penambahan dan renovasi. Seperti pembangunan menara, dilakukan oleh Pakubuwono X.
Penambahan terakhir dilakukan oleh Pemerintah Kota Surakarta dengan membangun perpustakaan, poliklinik, dan kantor pengelola.
Sampai saat ini, Masjid Agung Surakarta masih menjadi pusat tradisi Islam di Keraton Surakarta, tempat  penyelenggaraan berbagai ritual keagamaan seperti sekaten dan maulud Nabi Muhammad SAW.
Salah satu rangkaian acaranya adalah pembagian 1.000 serabi dari raja kepada masyarakat.
Bagi para pelancong yang berkunjung ke Solo, selain menikmati aneka makanan khas dan berbelanja pakaian batik, ada baiknya merasakan syahdunya beribadah di Masjid Agung Surakarta yang sarat nilai sejarah.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI