Jarak tempuhnya sepanjang 518 km dengan waktu tempuh sekitar 12 jam. Hal yang sama juga terjadi pada waktu pulangnya dari Solo ke Jakarta.
Waktu tempuh tersebut sudah termasuk berhenti dua kali di rest area untuk ke toilet, salat, makan, dan mengisi bahan bakar.
Untuk ruas Jakarta-Cirebon dan berlanjut dari Cirebon hingga Batang, sebetulnya sudah lebih lama beroperasi. Sedangkan yang lebih baru adalah ruas Batang-Semarang dan Semarang-Solo.
Ruas-ruas tersebut di atas semuanya saling terhubung dan menjadi bagian dari jalan tol Trans Jawa, yang menghubungkan Pelabuhan Merak di Banten hingga Ketapang di Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, sejauh 1.240 km.
Sampai sekarang yang sudah beroperasi sejauh 1.056 km. Dua kota terbesar di tanah air, Jakarta dan Surabaya sudah terhubung jalan tol tanpa terputus.
Memang ada perbedaan operator di setiap ruas, sehingga kendaraan yang melewatinya terpaksa beberapa kali membayar ongkos tol. Ke depan, sebaiknya secara sistem bisa disiasati agar pengguna jalan tol hanya sekali saja membayar yakni saat keluar tol.
Menarik mengamati beberapa rest area dari Cirebon ke Semarang atau sebaliknya. Saya memperhatikan masjid yang ada di beberapa rest area, dan banyak yang dibangun dengan arsitektur yang unik.
Salah satu keunikan yang saya maksud, masjid-masjid tersebut sengaja dibuat tanpa kubah. Padahal, selama ini masjid identik dengan kubah dan menara.
Sebagai contoh, di KM 379 A (Huruf A di belakang angka kilometer menunjukkan dari jalur dari barat ke timur, dan B untuk jalur timur ke barat).
Saya dan teman-teman sempat singgah di Masjid Sabilul Istiqomah yang ada di sana. Tapi, sebelum memasuki masjid tersebut, tidak gampang bagi kami menemukannya karena bangunannya bulat tanpa kubah.
Setelah masuk ke dalam masjid, baru terlihat tidak ada bedanya dengan masjid yang lain. Kalau dilihat dari luar, sekilas malah mirip gelanggang olahraga.
Lebih unik lagi masjid yang ada di rest area KM 260 B. Perlu diketahui, rest area ini menggunakan lahan dan bangunan bekas pabrik gula di zaman kolonial.
Baik dilihat dari luar masjid, mau pun masuk ke dalamnya, sangat berbeda dengan masjid pada umumnya, karena berupa tumpukan batu bata merah (sebagian dilubangi untuk sirkulasi udara) sebagai dinding pembatas ruangan seperti tampak pada foto paling atas.
Tidak semua ruangan masjid terlindungi atap dan kesannya memang seperti sisa bangunan dari beberapa abad yang lalu yang direkonstruksi.
Selain itu, rest area yang sangat luas ini sekaligus menjadi objek wisata karena bekas pabrik gula telah menjadi museum yang menarik.Â
Banyak pula kios oleh-oleh khas Brebes serta tempat ngopi-ngopi cantik, termasuk minum teh poci khas Tegal dan Brebes, di rest area tersebut.
Berikutnya di rest area KM 391 A ada Masjid Sabilun Najah yang lagi-lagi tanpa kubah dan dari depan terlihat bangunannya berbentuk trapesium.
Satu lagi yang kebetulan saya singgahi waktu pulang dari Solo ke Jakarta, masjid di KM 229 B yang dinamakan Masjid An Nur. Bentuknya sederhana, berupa kotak segi empat minimalis.
Jauh sebelum itu, di ruas jalan tol Cipularang yang dilewati mereka yang dari Bandung mau ke Jakarta, tepatnya di rest area KM 88 B, telah hadir masjid unik tanpa kubah yang memesona. Konsepnya seperti origami, ada lekukan dan ruang berbentuk segitiga.
Masjid yang dinamakan Al Safar tersebut adalah rancangan seorang arsitek terkenal, Ridwan Kamil, yang sekarang adalah Gubernur Jawa Barat.
Dengan adanya masjid-masjid unik di rest area jalan tol, membuktikan bahwa pihak pengelola tidak sekadar menyediakan fasilitas beribadah yang asal ada, tapi juga memperhatikan keindahan arsitektur yang menarik bagi pengunjung.
Masalahnya, ada masjid yang perawatannya terpelihara serta kebersihannya terjaga, ada juga yang kurang terpelihara. Ketertiban pengunjung ikut menjadi faktor yang menentukan kebersihan masjid.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H