Setiap bulan Desember, di kantor tempat saya bekerja sering diadakan perlombaan antar divisi. Untuk bidang kesenian, ada lomba vocal group, lomba pop singer, lomba tari, dan sebagainya.
Kenapa bulan Desember? Karena ulang tahun perusahaan jatuh di pertengahan Desember, tepatnya pada tanggal 16.
Saya ingat, juri yang sering dipakai pada lomba yang berkaitan dengan seni suara, khususnya di awal dekade 90-an, salah satunya adalah Bens Leo.
Orangnya simpatik, wajahnya lebih muda dari usianya. Waktu memaparkan hasil penjurian, ngomongnya juga enak.
Meskipun saya hanya sempat bersalaman saja dengan Bens, saya sudah merasa senang.Â
Soalnya, bagi saya yang memang relatif sering membaca tulisan Bens Leo dan melihat fotonya di media cetak, tentu ada sensasi tersendiri bertemu langsung dengannya.
Apakah Anda pernah membaca majalah musik Aktuil? Kalau pernah, ngaku saja, Anda tidak muda lagi, sama seperti saya. Aktuil menjadi referensi perkembangan musik pada dekade 1970-an.
Saat saya SMP saya sudah keranjingan membaca Aktuil. Awalnya saya sering membeli majalah yang bermarkas di Bandung itu karena menyukai puisi-puisi mbeling karya Remy Sylado yang rutin hadir di Aktuil.
Tapi, akhirnya saya malah kepincut dengan tulisan musik Bens Leo. Nah, itulah awal saya mengenal nama Bens Leo.
Wawancara Bens Leo dengan personil grup musik papan atas Indonesia dekade 1970-an serta ulasannya atas grup musik asing, khususnya yang beraliran rock, sangat saya nikmati.
Dari situlah kredibilitas Bens terbentuk. Tentu, sebelum Bens Leo sudah ada wartawan Indonesia yang sering menulis tentang musik.
Tapi, istilah jurnalisme musik dalam perkembangan pers Indonesia baru muncul setelah Bens Leo konsisten meliput perkembangan musik pop tanah air dan juga band-band mancanegara yang konser di Indonesia.
Tak heran, Bens Leo dianggap sebagai "kamus berjalan" musik Indonesia. Kalau sekarang mungkin dianggap Wikipedianya atau Mbah Google-nya musik Indonesia.
Biasanya wartawan musik jarang yang konsisten karena berupa penugasan dari medianya. Sering mereka dimutasi dari wartawan olahraga ke musik lalu ke film, dan sebagainya. Makanya, jurnalis yang akhirnya nglotok tentang musik tidak banyak.
Aktuil cenderung berkiblat kepada musik rock. Saya ingat liputannya tentang persaingan antar dua rocker terkenal, Ahmad Albar dan Ucok Harahap. Tapi, demi bisnis, keduanya berkolaborasi dalam "Duo Kribo".
Di lain pihak, Aktuil kurang mengapresiasi lagu-lagu dangdut yang dianggap musik kampungan. Jadi, remaja yang membaca Aktuil merasa sebagai anak kota yang selera musiknya tinggi.
Satu lagi, kenapa Aktuil menjadi majalah laris (pernah bertiras 100.000 eksemplar), karena ada poster grup band terkenal sebagai sisipan. Poster ini oleh pembeli majalah akan dipajang di kamarnya dengan bangga.
Bens Leo bukan sekadar wartawan musik biasa. Dengan pengetahuannya yang luas, ia sering menjadi narasumber dalam berbagai forum tentang musik, selain jadi juri lomba yang berkaitan dengan musik.
Istilah bagi genre musik yang baru, sering diciptakan oleh Bens Leo, seperti pop kreatif untuk jenis lagu seperti yang diciptakan Eross Djarot, Guruh Soekarnoputra, untuk membedakan dengan lagu-lagu Rinto Harahap yang mendominasi pasar akhir dekade 70-an.
Nah, Aktuil menilai pop kreatif lebih berbobot dan selera musik penikmatnya lebih berkelas dibanding penyuka lagu mendayu-dayu ala Rinto Harahap.
Terkait sepak terjangnya di Aktuil, Bens Leo meninggalkan warisan berharga, sebuah buku yang berjudul: "Bens Leo dan Aktuil-Rekam Jejak Jurnalisme Musik".
Hebatnya, Bens Leo dengan segudang pengalaman, sampai akhir hayatnya tetap seorang yang sederhana dan rendah hati. Bens berpulang menghadap Sang Pencipta, Senin (29/11/2021).
Sejauh ini belum terlihat ada figur baru sebagai pelanjut jurnalisme musik di Indonesia yang setara dengan Bens. Tapi, siapa tahu, figur itu akan muncul pada waktunya.Â
Sebetulnya, ada nama Theodore KS, yang juga menonjol sebagai jurnalis musik. Tapi, kalau tidak salah, Theodore satu angkatan dengan Bens. Theodore dulunya wartawan majalah musik Top, saingan Aktuil, lalu menjadi kontributor musik harian Kompas.
Theodore sering diminta grup band rock Indonesia untuk menulis syair lagu. Ia juga telah menulis beberapa buku, antara lain "Rock 'n Roll Industri Musik Indonesia".
Yang dicari adalah wartawan generasi milenial yang bisa dengan tajam mengamati industri musik masa kini yang tidak lagi mengandalkan penjualan CD, tapi berpromosi di media sosial.
Dihitung-hitung, industri musik Indonesia sudah berkembang cukup pesat, paling tidak musik Indonesia sudah jadi tuan rumah di negeri sendiri serta diterima baik di negara jiran Malaysia, Singapura dan Brunei.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H