Bahwa anak-anak sekarang banyak sekali yang kecanduan bermain gawai, sudah tidak aneh lagi. Bahkan sejak usia 2-3 tahun, main gawai sudah lazim dibiarkan orang tua agar anaknya tidak rewel.
Tentu, semua itu karena perilaku orang tua juga. Anak-anak hanya meniru. Melihat orang tuanya asyik main gawai, anak kecil yang belum bisa baca tulis pun bisa kecanduan.
Masalahnya semakin pelik bagi anak usia SD. Mereka memang dituntut untuk memegang gawai karena sejak pandemi melanda negara kita sekitar 2 tahun lalu, proses belajar dilakukan secara daring.
Hanya saja, bisa jadi setelah belajar, si anak tetap memegang gawai untuk dipakai bermain, yang sebetulnya tidak berkaitan lagi dengan pelajaran sekolah.
Gampang disimpulkan, sebagian besar anak-anak sudah mulai kecanduan gawai, yang ternyata berdampak negatif bagi kesehatan, terutama kesehatan mata.
Ada berita yang baik, sekaligus juga menprihatinkan, dari salah satu stasiun televisi pagi Kamis (25/11/2021) yang terkait dengan kesehatan mata anak-anak dan remaja.
Berita baiknya, ada sebuah gerakan sosial yang melakukan pemeriksaan mata secara gratis bagi para pelajar di Bogor, Jawa Barat.Â
Tapi, dari kegiatan tersebut terkuak kondisi yang memperihatinkan. Dari 500 anak yang diperiksa, 250 di antaranya punya masalah dengan mata tanpa disadari oleh si anak.
Ada yang sudah minus 13, kata seorang dokter mata yang memimpin program sosial tersebut. Minus sebesar itu jelas bukan hal yang main-main.
Berita televisi di atas ternyata juga diliput oleh kompas.id (25/11/2021), yang menuliskan bahwa di Kota Bogor sedikitnya ditemukan 609 anak dengan gangguan penglihatan.
Untuk itu, pemda setempat akan mendistribusikan bantuan kacamata bagi mereka. 609 anak tersebut merupakan hasil dari pemeriksaan terhadap 800 pelajar usia 7-18 tahun di semua jenjang pendidikan.
Jelaslah, selain bermanfaat untuk pendidikan, gawai, laptop dan komputer juga berdampak negatif dari paparan cahayanya.
Sebaiknya ada pembatasan waktu menggunakan gawai agar mata bisa istirahat. Pengawasan orang tua sangat penting agar si anak tidak terus-terusan main gawai.
Tapi, tak bisa lain, orang tua sendiri harus memberi contoh. Tak bisa melarang begitu saja.
Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) mengimbau agar anak usia di bawah 2 tahun tidak menggunakan gawai.
Usia 2-6 tahun boleh menggunakan gawai maksimal 1 jam, dan usia 6-`12 tahun tidak lebih dari 90 menit. Sementara waktu istirahat penggunaan gawai antara 10-30 menit.
Apa yang terjadi di Bogor diduga juga terjadi di mana saja, karena sekarang hampir semua orang sudah punya gawai.
Jangankan anak-anak, orang dewasa pun sulit untuk membatasi dirinya sendiri dalam menggunakan gawai.Â
Boleh dikatakan sejak bangun pagi sampai mau tidur lagi di malam hari, gawai berada di tangan atau selalu berdekatan dengan seseorang.
Bahkan, di toilet pun ketika lagi buang air besar, asyik dilakukan sambil main gawai. Padahal, kalau tidak hati-hati gawai bisa nyemplung ke tempat kotoran
Jika seseorang keluar rumah, hal yang paling diingat bukan membawa dompet, tapi jangan sampai ketinggalan membawa gawai.
Seakan-akan hidup tanpa gawai serasa kiamat, mau apa-apa jadi tidak bisa. Soalnya, berkomunikasi dengan orang lain, mencari informasi, dan melakukan transaksi, semuanya melalui gawai.
Nah, perilaku orang dewasa dalam menggunakan gawai itulah yang menular ke anak-anak, meskipun anak-anak mungkin lebih banyak menggunakannya untuk bermain.
Bahwa akhirnya kesehatan mata anak-anak dan remaja banyak yang bermasalah, itu sebuah konsekuensi logis.
Kesehatan mata pada awalnya mungkin kurang mendapat perhatian dan baru terasa arti pentingnya justru setelah bermasalah.Â
Batasi penggunaan gawai, sayangi mata Anda!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H