Tapi, lupakan saja soal politik. Soalnya, sejauh ini belum terlihat syahwat berpolitik para guru. Berbeda misalnya dengan organisasi serikat pekerja, sedikit banyaknya para pengurusnya terlihat punya syahwat politik.
Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) sebagai organisasi tempat berhimpunnya para guru sudah menegaskan tidak berpolitik, dalam arti tidak berafiliasi ke partai politik tertentu.
Bahkan, jika ada pengurus PGRI yang terpilih menjadi anggota DPR, diwajibkan mundur sebagai pengurus, agar independensi PGRI tetap terjaga.
Jadi, PGRI konsisten menjadi mitra strategis pemerintah dalam memajukan pendidikan di tanah air, termasuk memperjuangkan kesejahteraan guru.
Ya, topik kesejahteraan guru selalu menjadi topik yang "seksi". Meskipun ada pro-kontra soal ini.Â
Ada yang mengatakan bahwa profesi guru merupakan panggilan jiwa, makanya semangat guru tidak pernah kendor walaupun gajinya kecil.
Tapi, pendapat sebaliknya yang lebih realistis, bagaimanapun juga kesejahteraan merupakan salah satu faktor untuk memotivasi dan sekaligus sebagai wujud penghargaan atas pengorbanan guru.
Gambaran sosok guru zaman dulu kurang lebih seperti yang disampaikan Iwan Fals lewat lagunya "Guru Oemar Bakri", guru pegawai negeri, 40 tahun mengabdi, dan gajinya seperti dikebiri.
Namun itu kan dulu, ketika negara belum mampu memberikan gaji yang layak. Sekarang ceritanya berbeda, paling tidak untuk guru yang berstatus pegawai negeri sipil (PNS).
Kebetulan saudara saya banyak yang jadi guru. Banyak pula teman saya yang setelah menamatkan sekolah menengah memilih kuliah di IKIP (Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan) dan kemudian manjadi ibu atau bapak guru,
Rata-rata kehidupan teman-teman tersebut memadai secara ekonomi, sudah punya rumah sendiri dan kendaraan roda empat, serta mampu membiayai kuliah anak-anaknya.