Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Kredit Usaha Rakyat, Penyelamat UMKM dan "Kanibalisme" Kredit Bank

6 Desember 2021   07:53 Diperbarui: 14 Desember 2021   07:15 1383
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mirza Adityaswara dalam tulisannya "UMKM dan Kendala Pembiayaan" di koran Kompas 16 November 2021, memaparkan masih banyaknya usaha mikro-kecil yang belum terjangkau pembiayaan lembaga formal.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), sektor UMKM menyumbang sekitar 60 persen dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB), tapi dari data perbankan terlihat bahwa kredit UMKM hanya sebesar 20 persen dari total kredit perbankan.

Artinya, masih banyak pelaku usaha mikro dan kecil yang dari kacamata bank belum layak diberikan kredit. Padahal, sebagian besar kredit UMKM berupa kredit yang beban bunganya disubsidi pemerintah, yakni Kredit Usaha Rakyat (KUR).

KUR sengaja dirancang dengan berbagai kemudahan bagi pelaku UMKM, termasuk tidak mewajibkan calon peminjam punya agunan seperti halnya kredit lain pada umumnya.

Bahkan, dengan syarat tertentu, pengucuran KUR justru dijamin oleh perusahaan milik negara Jamkrindo (Jaminan Kredit Indonesia) atau Askrindo (Asuransi Kredit Indonesia).

Jadi, seandainya pengembalian kredit dari nasabah ke pihak bank mengalami kemacetan, bank dapat mengajukan klaim kepada Jamkrindo atau Askrindo, tergantung mana yang terikat kerja sama dengan bank untuk manjamin nasabah yang macet tersebut.

Dari tulisan Mirza, ekonom yang pernah menduduki kursi Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia 2014-2019, dapat ditafsirkan bahwa meskipun KUR sudah banyak membantu UMKM, tapi juga memunculkan paling tidak dua masalah berikut.

Pertama, bank-bank yang sebelum ada KUR sudah punya produk kredit sendiri untuk segmen UMKM tidak mampu menyaingi KUR. Akibatnya bank tidak lagi tertarik menyalurkan kredit yang non subsidi.

Kedua, subsidi KUR bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Jika semua pelaku UMKM mengandalkan KUR, tentu akan menyulitkan pemerintah, karena kekuatan dana APBN tidak akan cukup  mendanainya.

Saya teringat dengan teman saya seorang pejabat di Bank Rakyat Indonesia (BRI) yang mengatakan telah dari awal menduga akan terjadi "kanibalisme" di banknya sewaktu KUR diluncurkan sekitar 15 tahun lalu.

Seperti diketahui, BRI sudah lama dikenal sebagai bank yang dominan dalam memberikan kredit pada segmen UMKM, karena jaringan kantornya sampai ke level kota kecamatan di seluruh Indonesia.

Istilah kanibalisme di bank biasanya mengacu pada peningkatan kinerja pada suatu produk tapi dengan mengorbankan produk lain dari bank yang sama.

Jadi, secara total tidak ada peningkatan kinerja, hanya semacam pidah kantong saja, dari kantong kiri ke kantong kanan.

Dengan adanya KUR yang suku bunganya rendah karena disubsidi, maka produk kredit BRI untuk pelaku usaha mikro yang dinamakan Kupedes (Kredit Umum Pedesaan) akan terdesak.

Soalnya, Kupedes mengenakan suku bunga komersial kepada nasabahnya. Meskipun demikian, karena tingkat pengembalian kredit yang baik, sebetulnya bunga Kupedes tidak begitu memberatkan konsumen.

Tapi, realistis saja, begitu konsumen punya pilihan baru dengan bunga yang lebih rendah, ya akhirnya mereka memilih melunasi Kupedes dengan mengajukan pinjaman KUR.

Tak dapat dipungkiri, KUR sangat berjasa telah menjadi penyelamat dalam memberikan pendanaan bagi jutaan pelaku UMKM di seluruh Indonesia

Di lain pihak, secara teori, pemberian subsidi berpotensi "merusak" persaingan dengan bank yang juga punya produk kredit untuk segmen UMKM.

Padahal, kemampuan anggaran negara juga terbatas, mau tak mau pemerintah tak bisa jalan sendiri, perlu bantuan bank lain untuk bersama-sama mengucurkan kredit UMKM.

Sebetulnya, ada juga  Bank Perkreditan Rakyat (BPR) yang beroperasi di kota-kota kecamatan. Nasabah BPR banyak yang jadi pelaku UMKM. 

Tapi, BPR itu sendiri punya dana yang terbatas dan karena itu BPR memeberikan kredit dengan bunga yang lebih mahal ketimbang bank umum.

Soalnya, masyarakat yang menabung di BPR relatif sedikit, itu pun dengan saldo kecil. Sehingga, agar punya dana untuk diputar sebagai kredit, BPR meminjam ke bank umum.

Tentu, BPR akan mengenakan bunga tinggi ke peminjamnya, lebih tinggi dari bunga pinjaman yang harus dibayar BPR kepada bank umum.

Akhirnya, lembaga yang berperan menutup kebutuhan pendanaan bagi pelaku usaha mikro yang belum kebagian KUR, justru penyedia aplikasi pinjaman online (pinjol).

Tanpa seleksi yang ketat, pinjol seolah jadi penyelamat. Tapi, sebagian nasabah malah merasa terjebak karena ketika menunggak, bunganya bisa membengkak berlipat-lipat dari utang semula.

Fenomena pinjol sepertinya tak terhindarkan, tapi jangan sampai pelaku UMKM terjebak menjadi nasabah pinjol ilegal.

Inilah dilema di balik kesuksesan KUR, jangan sampai fenomena kanibalisme dengan produk kredit non-subsidi berlanjut. 

Perwakilan bank-bank yang punya produk kredit UMKM perlu duduk bersama dengan pemerintah agar gap antara bunga pinjaman yang disubsidi dengan yang tidak disubsidi bisa diperkecil.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun