Memang, posisi guru atau dosen lebih superior karena punya kewenangan memberikan nilai atas mata pelajaran atau mata kuliah.
Maka, iming-iming akan diberikan nilai tinggi, menjadi taktik yang lazim dipakai dosen buat mendekati mahasiswa yang jadi sasarannya.
Namun, dalam beberapa kasus justru inisiatif datang dari mahasiswa yang sengaja menggoda dosennya dengan motif untuk mendapatkan nilai tinggi.
Tapi, ada juga pasangan guru-murid atau dosen-mahasiswa yang betul-betul saling jatuh cinta hingga mereka naik pelaminan.
Mahasiswa dianggap sudah dewasa, bahkan anak-anak SMA/SMK pun diharapkan sudah bisa mengantisipasi konsekuensi dari setiap tindakannya dalam berinteraksi dengan guru atau dosen.
Jika ada dosen yang melakukan kekerasan seksual dan mahasiswa dalam posisi terdesak atau tak bisa mengelak, sebaiknya setelah itu segara melapor kepada pihak berwajib agar si pelaku diproses secara hukum.
Apabila prosesnya lamban, bisa diambil langkah lain seperti memberitakan di media sosial dan diviralkan dengan catatan identitas korban disamarkan.
Sedangkan untuk tingkatan yang lebih rendah seperti SD atau SMP, anaknya masih polos dan mungkin belum bisa membaca gelagat nakal oknum guru yang akan melecehkannya secara seksual.
Kelompok anak-anak tersebut, bila menjadi korban, perlu pendampingan dari ahlinya agar tidak mengganggu kesehatan mentalnya.
Tapi, bila kita fokus ke lingkungan perguruan tinggi, setiap kasus yang terjadi sebaiknya dipilah-pilah dulu, karena tak semuanya memenuhi unsur kekerasan seksual.
Sangat mungkin terjadi perbuatan asusila tanpa adanya unsur paksaan. Untuk itu, karena pelaku dianggap sudah dewasa, seharusnya memahami bahwa perbuatannya melanggar norma dan secara agama jelas berdosa.