Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Iming-iming Nilai Tinggi Jadi Barter Asmara Dosen-Mahasiswa

16 November 2021   10:10 Diperbarui: 16 November 2021   10:12 702
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi dosen lagi di dalam kelas|dok. Shutterstock, dimuat okezone.com

Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Perguruan Tinggi telah menuai kontroversi.

Bagi kelompok yang tidak setuju dengan aturan PPKS tersebut, argumennya adalah seolah-olah aturan itu melegalkan zina, karena hanya mengakomodir perbuatan yang tidak disetujui oleh salah satu pihak.

Jadi, kalau perbuatan atas dasar suka sama suka di luar ruang lingkup peraturan baru tersebut.

Di sisi lain, cukup banyak pula kelompok yang setuju dengan Permendikbudristek PPKS itu, termasuk Menteri Agama.

Tulisan ini tidak bermaksud membahas kontroversi tersebut. Namun satu hal yang pasti, baik pihak yang setuju maupun yang tidak setuju, tujuannya sama yakni bagaimana melenyapkan kekerasan seksual.

Soalnya, kekerasan seksual, termasuk pelecehan seksual, harus diakui hingga sekarang relatif masih sering terjadi. Hanya saja yang dilaporkan oleh korban ke pihak berwajib, tidaklah banyak.

Keenganan korban untuk melapor dapat dipahami, mungkin merasa malu. Atau, merasa laporannya tidak akan ditindaklanjuti.

Di lingkungan pendidikan, kasus-kasus seksual tidak hanya di perguruan tinggi. Bahkan, di level sekolah dasar, madrasah, dan pesantren pun, ada saja tenaga pendidik yang mencabuli anak didiknya.

Sedangkan di level pendidikan yang lebih tinggi, seperti di sekolah menengah dan perguruan tinggi, selain kasus kekerasan seksual, tak sedikit pula yang bersifat lebih "lembut", seperti pendidik yang menjalin hubungan asmara dengan anak didiknya.

Bagi yang terlibat hubungan asmara tersebut, bisa saja dibumbui dengan pelecehan seksual, baik dengan kekerasan atau tanpa kekerasan.

Tanpa kekerasan maksudnya karena bujuk rayu oknum guru atau dosen, murid atau mahasiswanya mau saja memenuhi permintaan guru atau dosennya itu.

Memang, posisi guru atau dosen lebih superior karena punya kewenangan memberikan nilai atas mata pelajaran atau mata kuliah.

Maka, iming-iming akan diberikan nilai tinggi, menjadi taktik yang lazim dipakai dosen buat mendekati mahasiswa yang jadi sasarannya.

Namun, dalam beberapa kasus justru inisiatif datang dari mahasiswa yang sengaja menggoda dosennya dengan motif untuk mendapatkan nilai tinggi.

Tapi, ada juga pasangan guru-murid atau dosen-mahasiswa yang betul-betul saling jatuh cinta hingga mereka naik pelaminan.

Mahasiswa dianggap sudah dewasa, bahkan anak-anak SMA/SMK pun diharapkan sudah bisa mengantisipasi konsekuensi dari setiap tindakannya dalam berinteraksi dengan guru atau dosen.

Jika ada dosen yang melakukan kekerasan seksual dan mahasiswa dalam posisi terdesak atau tak bisa mengelak, sebaiknya setelah itu segara melapor kepada pihak berwajib agar si pelaku diproses secara hukum.

Apabila prosesnya lamban, bisa diambil langkah lain seperti memberitakan di media sosial dan diviralkan dengan catatan identitas korban disamarkan.

Sedangkan untuk tingkatan yang lebih rendah seperti SD atau SMP, anaknya masih polos dan mungkin belum bisa membaca gelagat nakal oknum guru yang akan melecehkannya secara seksual.

Kelompok anak-anak tersebut, bila menjadi korban, perlu pendampingan dari ahlinya agar tidak mengganggu kesehatan mentalnya.

Tapi, bila kita fokus ke lingkungan perguruan tinggi, setiap kasus yang terjadi sebaiknya dipilah-pilah dulu, karena tak semuanya memenuhi unsur kekerasan seksual.

Sangat mungkin terjadi perbuatan asusila tanpa adanya unsur paksaan. Untuk itu, karena pelaku dianggap sudah dewasa, seharusnya memahami bahwa perbuatannya melanggar norma dan secara agama jelas berdosa.

Kebanyakan yang terlibat adalah dosen laki-laki dengan mahasiswi, terutama bila si dosen masih bujangan dan masih muda.  

Namun, ada juga dosen yang sudah berkeluarga menjadikan mahasiswanya sebagai wanita idaman lain (WIL).

Seperti yang telah disinggung sebelumnya, tak selalu dosen yang berinisiatif dalam memulai hubungan, karena mahasiswi yang "gatal" juga ada merayu dosen pria. Ada pula mahasiswa pria yang merayu dosen wanita yang masih lajang.  

Kesimpulannya, ada atau tidak ada Permendikbudristek PPKS, pada akhirnya yang dituntut adalah kesadaran masing-masing pihak di perguruan tinggi, baik dosen maupun mahasiswa, agar tak ada lagi kekerasan seksual.

.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun