Tapi karena itu tadi, pemalu, Kompasianer yang ngobrol agak lama dengan saya di berbagai acara itu relatif sedikit. Salah dua di antaranya, Mas Pringadi dan Mbak Indria.
Terakhir saya ikut acara komunitas KOMiK sekitar Agustus 2019 ke museum perumusan naskah proklamasi, makan gado-gado Bonbin Cikini (ini yang saya tunggu) dan nonton bareng di TIM.
Di acara tersebut saya berkenalan dengan Mbak Dewi Puspasari dan Mas Adica. Mbak Dewi tahun ini terpilih sebagai Kompasianer of the year. Selamat ya Mbak.Â
Sedangkan Mas Adica, masuk nominasi untuk sebuah kategori. Beliau memang banyak menulis pengalamannya berinvestasi di Bura Efek Indonesia dengan trading saham.
Satu lagi, saya cukup panjang berdiskusi dengan alm. Pak Thamrin Sonata sehabis salat di Masjid TIM. Sungguh tak menyangka, mungkin satu bulan setelah itu, beliau menghadap Sang Pencipta.
Pada Kompasianival 2019 saya sudah berniat hadir, tapi bertabrakan dengan acara pernikahan keponakan saya di Riau. Padahal, panitia memberitahu kalau saya dapat penghargaan sebagai salah seorang "the headliners".
Panitia bertanya, apakah ada yang bisa mewakili saat penyerahan penghargaan. Dengan malu-malu saya memberanikan diri mengontak Mbak Dewi Puspasari, minta tolong agar beliau bersedia mewakili. Alhamdulillah, Mbak Dewi bersedia.
Saya sengaja menulis interaksi saya dengan beberapa kompasianer, karena bagi saya sebetulnya bukan penghargaan yang paling penting, tapi kekeluargaan dan pertemanan di Kompasiana.
O ya, saya juga beberapa kali bertukar pesan dengan Pak Ikhwanul Halim dan Mbak Fatmi. Bagi saya, semua kompasianer, termasuk yang belum sempat saya temui, sama pentingnya.
Saya semaksimal mungkin mengunjungi tulisan teman-teman, tanpa membedakan centang, point, label, atau apapun atribut yang melakat pada seorang kompasianer.
Memang, jejak yang saya tinggalkan hanya berupa penilaian: menarik, inspiratif, atau bermanfaat, tergantung mana yang lebih dominan.