Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pekerja Informal: Petarung Sejati Vs Pemain Watak

2 November 2021   06:30 Diperbarui: 2 November 2021   06:33 658
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pedagang kaki lima| dok. Mentari Dwi Gayati, antaranews.com

Sebetulnya sulit menghitung angka pasti jumlah pekerja informal di negara kita. Namanya juga informal, tak ada catatan resmi dan data yang ada sifatnya semacam estimasi saja.

Padahal, tidak saja jumlah orang yang terlibat yang demikian banyak, tapi uang yang berputar di sektor informal ini, konon secara kumulatif jumlahnya tergolong raksasa.

Bahkan, boleh dikatakan sebagian pelaku usaha mikro termasuk pekerja informal. Contohnya mereka yang jadi pedagang keliling atau mangkal di lapak, tenda, atau tempat tidak permanen lainnya.

Tentu, jenis pekerjaan yang tergolong informal sangat banyak. Selain pedagang keliling dan kaki lima, yang juga dilakuan oleh banyak orang adalah jadi pengojek, baik online maupun ojek biasa.

Kemudian, tak sedikit pekerjaan yang butuh mental yang tidak gengsian seperti pemulung, pengamen, pak ogah, tukang parkir, buruh panggul yang membawa barang di pasar, dan sebagainya.

Satu lagi yang sebetunya mungkin tidak layak disebut sebagai pekerjaan, tapi kenyataannya di mana-mana gampang ditemui, adalah pengemis atau peminta-minta.

Ada pengemis yang sekadar menadahkan tangan. Tapi, ada juga yang meminta sumbangan dengan memainkan atraksi seperti manusia silver, manusia topeng, manusia ondel-ondel dan sebagainya.

Yang jelas-jelas bukan pekerjaan karena termasuk kriminal adalah pencopet, panjambret, pembegal, pemalak, dan yang mirip-mirip dengan itu.

Mungkin tak ada orang yang dari kecil sudah bercita-cita menjadi pekerja informal, meskipun orang tuanya dapat penghasilan dari sana. 

Tapi, karena keterbatasan lapangan pekerjaan dan juga karena keterbatasan dalam memenuhi persyaratan formal (terutama ijazah yang dipunyai), pekerja informal menjadi pilihan bagi yang tidak gengsian dan bermental petarung.

Mental petarung maksudnya mental yang tak kenal menyerah, jika tersungkur segera bangkit lagi.

Namun demikian, petarung sejati saja belum cukup menjadi jaminan. Petarung bergaya konvensional yang tidak mampu beradaptasi dengan kemajuan zaman, akan ketinggalan. 

Jika seorang penjual jagung rebus dari dulu sampai sekarang tetap seperti itu saja cara memasak dan menyajikannya, boleh jadi remaja sekarang tidak tertarik membelinya.

Harus ada penyesuaian dari sisi rasa atau penyajiannya. Contohnya dengan memberi bumbu yang kekinian dan kemasan yang lebih memikat.

Jadi, yang namanya pekerja informal, idealnya tidak begitu-begitu saja sepanjang masa, tapi ada peningkatan atau kemajuan, sekecil apapun.

Saya mengagumi beberapa orang teman sekolah saya dulu, yang tidak gengsi, ada yang jadi pendorong gerobak barang, pencuci bus, dan penjual koran.

Dengan penghasilan dari pekerjaan "kasar" tersebutlah mereka berhasil menamatkan sekolah menengah, bahkan ada yang akhirnya jadi sarjana.

Karena mempunyai bekal pendidikan yang relatif baik, akhirnya mereka "naik kelas", dapat pekerjaan formal. Ada yang bekerja di bank, ada juga yang berwirausaha yang punya tempat berupa bangunan permanen.

Tapi, ada juga kerabat saya yang bernasib sebaliknya, maksudnya awalnya sempat bekerja di sektor formal, tapi karena kena PHK dan tidak punya tabungan, sekarang terpaksa jadi tukang parkir.

Nah, sekarang bagaimana kita menyikapi pekerja informal yang kita temui sehari-hari? Jika ia pedagang, tak ada salahnya kita beli barang yang dijualnya.

Kalaupun barang itu tidak begitu kita perlukan, bagi saja kepada saudara atau teman yang kira-kira membutuhkannya.

Sekiranya kita puas dengan kualitas barang dan pelayanannya, ada baiknya kita bantu mempromosikan dari mulut ke mulut.

Pedagang tersebut akan sangat senang jika barangnya dibeli, bahkan lebih senang dibanding ada orang yang memberi uang secara cuma-cuma.

Jika ia seorang penjaga toilet, pemulung, tukang parkir atau pak ogah yang membantu kita, berilah seberapa kita ikhlas. Biasanya, ia dibayar dengan uang koin atau uang kertas dengan nominal kecil alias uang receh.

Tapi, sesekali tak ada salahnya memberi dengan nilai nominal lebih besar dan diniatkan untuk membantu yang bersangkutan.

Jika ia seorang pengamen yang terkadang malah bikin telinga kita tak nyaman, ini yang kadang-kadang bikin kita serba salah.

Pengamen yang berkualitas, suaranya merdu, main musiknya pintar, kata-katanya sopan, tentu tidak ada masalah.

Tapi, tak sedikit pengamen yang bersuara cempreng, main gitarnya masih kacau, tapi sorot matanya tajam bikin kita ketakutan.

Pengamen yang seperti itu bisa dianggap mengganggu ketertiban, mirip juga dengan pengemis dan tukang parkir liar yang main palak.

Kita harus waspada karena mungkin mereka adalah pemain watak yang baik. Ada yang nyerocos saja mengumbar kisah sedih bergaya memelas minta dikasihani, ada pula yang berteriak-teriak mengintimidasi bahwa ia baru keluar dari penjara.

Tentang kebiasaan mengumbar cerita sedih, adakalanya menjangkiti pekerja yang posisinya lebih baik, misalnya sopir taksi yang bercerita ke penumpangnya tanpa diminta. Begitu juga sebagian pengendara ojol.

Ya, bisa jadi mereka jujur bercerita. Tapi, ada juga yang ngarang-ngarang dengan mengatakan istrinya masuk rumah sakit, padahal sehat-sehat saja.

Nah, jika kita curiga terhadap pekerja informal yang pemain watak, sebaiknya tidak usah disangkal ceritanya.

Lalu, apakah kita akan memberi uang tip yang lebih besar, ala kadarnya, atau tidak sama sekali, tergantung hati nurani kita masing-masing. 

Kalau kita beri uang, ada baiknya dengan niat sebagai amal. Tidak memberi uang pun juga oke, karena dengan uang takutnya mereka kebablasan jadi pemain watak seterusnya.

Perlu diketahui, tak sedikit pengemis yang keenakan menadahkan tangan dengan cara ekstrim, misalnya berpura-pura jadi orang cacat. 

Soalnya, pendapatannya bisa jauh lebih besar dari buruh pabrik atau penarik ojek. Ada yang waktu terciduk petugas, punya uang jutaan rupiah.

Apapun itu, berhubungan dengan pekerja informal adalah hal yang lazim, karena seperti itulah kondisi sosial di negara kita.

Kita tak usah kesal pada mereka, tak usah juga menceramahinya. Jika ingin berbagi, lakukan dengan ikhlas. Jika lagi tidak ingin berbagi, angkat tangan saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun