Namun demikian, petarung sejati saja belum cukup menjadi jaminan. Petarung bergaya konvensional yang tidak mampu beradaptasi dengan kemajuan zaman, akan ketinggalan.Â
Jika seorang penjual jagung rebus dari dulu sampai sekarang tetap seperti itu saja cara memasak dan menyajikannya, boleh jadi remaja sekarang tidak tertarik membelinya.
Harus ada penyesuaian dari sisi rasa atau penyajiannya. Contohnya dengan memberi bumbu yang kekinian dan kemasan yang lebih memikat.
Jadi, yang namanya pekerja informal, idealnya tidak begitu-begitu saja sepanjang masa, tapi ada peningkatan atau kemajuan, sekecil apapun.
Saya mengagumi beberapa orang teman sekolah saya dulu, yang tidak gengsi, ada yang jadi pendorong gerobak barang, pencuci bus, dan penjual koran.
Dengan penghasilan dari pekerjaan "kasar" tersebutlah mereka berhasil menamatkan sekolah menengah, bahkan ada yang akhirnya jadi sarjana.
Karena mempunyai bekal pendidikan yang relatif baik, akhirnya mereka "naik kelas", dapat pekerjaan formal. Ada yang bekerja di bank, ada juga yang berwirausaha yang punya tempat berupa bangunan permanen.
Tapi, ada juga kerabat saya yang bernasib sebaliknya, maksudnya awalnya sempat bekerja di sektor formal, tapi karena kena PHK dan tidak punya tabungan, sekarang terpaksa jadi tukang parkir.
Nah, sekarang bagaimana kita menyikapi pekerja informal yang kita temui sehari-hari? Jika ia pedagang, tak ada salahnya kita beli barang yang dijualnya.
Kalaupun barang itu tidak begitu kita perlukan, bagi saja kepada saudara atau teman yang kira-kira membutuhkannya.
Sekiranya kita puas dengan kualitas barang dan pelayanannya, ada baiknya kita bantu mempromosikan dari mulut ke mulut.