Hunian vertikal sebetulnya bukan hal baru di kota-kota besar di negara kita. Bahkan, pada era orde lama pun, sudah muncul konsep pembangunan rumah susun (rusun) di Jakarta mengingat penduduk yang semakin padat.
Namun, pada kenyataannya, hunian vertikal yang dinamakan rusun itu, pertama kali selesai di bangun pada tahun 1974 di kawasan Klender, Jakarta Timur.
Karena dibangun oleh Perusahaan Umum Pembangunan Perumahan Nasional (Perum Perumnas), sebuah perusahaan milik negara di bidang pengembangan perumahan, maka rusun tersebut dinamakan Rusun Perumnas Klender.
Setelah itu, yang sekarang sudah tergolong tua adalah rusun di Kebon Kacang (Jakarta Pusat) dan Tebet (Jakarta Selatan).
Namun demikian, sampai berakhirnya era orde baru, perkembangan hunian vertikal belum bisa dibilang pesat.
Ternyata tidak mudah menumbuhkan minat agar warga kota menjadikan hunian vertikal sebagai pilihan utama.
Nah, kemudian pada tahun 2007, Presiden SBY bersama Wapres Jusuf Kalla, punya program besar-besaran, yakni pembangunan seribu tower rusun.
Terlepas dari apakah program tersebut akhirnya berhasil mencapai seribu tower atau tidak, yang jelas penambahan rusun sangat kentara terlihat.
Sebagai contoh, di Kalibata City, Jakarta Selatan, terdapat 18 tower apartemen (masing-masing berlantai 22) dengan jumlah unit mencapai 13.580 (kontan.co.id, 17/12/2018). Yang seperti di Kalibata tersebut terdapat pula di beberapa lokasi lainnya.
Unit apartemen yang mengambil lahan di bekas pabrik sepatu Bata itu laris manis karena harganya relatif murah. Dan memang, apartemen itu ditujukan buat masyarakat kelas menengah ke bawah.
Namun demikian, jarang yang menyebut Kalibata City sebagai rusun. Selama ini, ada kesan bahwa rusun kelasnya di bawah apartemen.
Padahal, apartemen sekarang ini kelasnya sangat beragam, dari yang sangat sederhana hingga yang sangat mewah.
Apartemen sederhana yang dibangun pengembang swasta sekarang sudah merambah kota-kota besar lainnya, termasuk yang berbatasan dengan Jakarta, yakni Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi.
Jadi, apartemen dengan ukuran kecil dan tampilan seadanya mulai menjamur untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang tak kuat membeli apartemen yang lebih mahal.
Sedangkan apartemen yang fasilitasnya sangat lengkap dan mewah, disebut juga dengan kondominium, juga banyak di lokasi kelas premium.
Tapi, kalau ditanya kata hati kebanyakan warga, membeli rumah tapak masih menjadi pilihan utama. Tapi, dengan harga yang sangat tinggi seiring dengan kenaikan harga tanah, membuat hanya masyarakat yang berpenghasilan besar yang mampu membelinya.
Kalaupun tetap membeli rumah tapak, hanya rumah sangat sederhana (RSS) yang lokasinya berada sekitar 30-40 km dari pusat kota Jakarta.
Seperti diketahui, harga tanah selalu cenderung naik, apalagi yang berada di perkotaan, karena penduduknya bertambah banyak, sementara itu lahan sangat terbatas.
Harapan kita, agar lahan milik pemerintah semakin banyak yang diperuntukkan untuk perumahan, baik rumah tapak maupun rusun yang bersubsidi bagi masyarakat marjinal.
Jika tidak ada rumah bersubsidi, akan semakin banyak angkatan kerja baru, yang nota bene adalah generasi milenial dan generasi setelah itu, yang tidak mampu memiliki tempat tinggal sendiri.
Menyewa rumah atau mengontrak rumah secara terus menerus sampai tua, bukan pola hidup yang diharapkan, karena unsur ketidakpastiannya tinggi.
Tampaknya, tak terelakkan lagi, di masa mendatang mayoritas warga kota metropolitan akan tinggal di hunian vertikal.
Bagi yang pertama kali "hijrah" dari rumah tapak ke hunian vertikal, tentu akan ada tahap adaptasi budaya terlebih dahulu.
Dulu, ada sebuah film yang berjudul "Cintaku di Rumah Susun" yang dengan baik menggambarkan budaya di rumah susun yang ketika itu masih saling mengenal antar tetangga seperti di rumah tapak di perkampungan padat penduduk.
Film bergenre komedi situasi itu diproduksi tahun 1987 saat rusun belum begitu banyak. Sutradara Nya' Abbas Akup berhasil "memindahkan" keseharian warga rusun ke layar lebar.
Maka terlihatlah sketsa karikatural dari para penghuni rusun yang beraneka ragam. Ada seorang Somad (diperankan Deddy Mizwar) pegawai pabrik bir yang dilarang pacaran oleh kakeknya, tapi ia diganggu oleh tetangganya, Zuleha (Eva Arnaz).
Masalahnya, Eva adalah simpanan seorang bandit. Ada juga tokoh ketua RT yang genit (Asmuni) dan janda Mastun (Rima Melati) yang sering menunggak sewa.
Tapi, bila kita mengamati penghuni apartemen seribu tower sekarang ini, budaya bertetangga seperti di film di atas, sudah mulai terkikis.
Saling mengenal dengan penghuni unit di sebelahnya tidak lagi berlaku. Apakah ada unit yang dimanfaatkan oleh pekerja seks komersial, mungkin juga penghuni lain tidak mau tahu.
Bahkan, pernah ada seorang karyawan yang tinggal sendirian karena keluarganya tinggal di luar daerah, terlambat diketahui kalau sudah meninggal dunia.Â
Itupun karena istrinya menelpon ke hape sang suami tidak dijawab-jawab, lalu sang istri menelpon ke teman kantor suaminya.
Barulah kemudian si teman kantor datang ke apartemen dan dengan pengelola apartemen membuka paksa unit tempat si suami tinggal.
Hubungan antar tetangga di hunian vertikal seharusnya lebih baik karena jaraknya hanya dibatasi dinding, ketimbang rumah tapak yang berpagar tinggi.
Bagaimana agar budaya bertetangga tidak terkikis, menjadi PR bagi masyarakat perkotaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H