Bagi yang pertama kali "hijrah" dari rumah tapak ke hunian vertikal, tentu akan ada tahap adaptasi budaya terlebih dahulu.
Dulu, ada sebuah film yang berjudul "Cintaku di Rumah Susun" yang dengan baik menggambarkan budaya di rumah susun yang ketika itu masih saling mengenal antar tetangga seperti di rumah tapak di perkampungan padat penduduk.
Film bergenre komedi situasi itu diproduksi tahun 1987 saat rusun belum begitu banyak. Sutradara Nya' Abbas Akup berhasil "memindahkan" keseharian warga rusun ke layar lebar.
Maka terlihatlah sketsa karikatural dari para penghuni rusun yang beraneka ragam. Ada seorang Somad (diperankan Deddy Mizwar) pegawai pabrik bir yang dilarang pacaran oleh kakeknya, tapi ia diganggu oleh tetangganya, Zuleha (Eva Arnaz).
Masalahnya, Eva adalah simpanan seorang bandit. Ada juga tokoh ketua RT yang genit (Asmuni) dan janda Mastun (Rima Melati) yang sering menunggak sewa.
Tapi, bila kita mengamati penghuni apartemen seribu tower sekarang ini, budaya bertetangga seperti di film di atas, sudah mulai terkikis.
Saling mengenal dengan penghuni unit di sebelahnya tidak lagi berlaku. Apakah ada unit yang dimanfaatkan oleh pekerja seks komersial, mungkin juga penghuni lain tidak mau tahu.
Bahkan, pernah ada seorang karyawan yang tinggal sendirian karena keluarganya tinggal di luar daerah, terlambat diketahui kalau sudah meninggal dunia.Â
Itupun karena istrinya menelpon ke hape sang suami tidak dijawab-jawab, lalu sang istri menelpon ke teman kantor suaminya.
Barulah kemudian si teman kantor datang ke apartemen dan dengan pengelola apartemen membuka paksa unit tempat si suami tinggal.
Hubungan antar tetangga di hunian vertikal seharusnya lebih baik karena jaraknya hanya dibatasi dinding, ketimbang rumah tapak yang berpagar tinggi.