Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Pajak Berkeadilan, Orang Tajir Kena Tarif Besar dan Pelaku UMKM Bebas PPh

14 Oktober 2021   13:50 Diperbarui: 15 Oktober 2021   08:51 976
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pajak.| Sumber; Thinkstock via Kompas.com

Boleh dikatakan bahwa tidak ada di antara kita yang terbebas dari pajak. Dengan demikian, semua kita telah berkontribusi untuk terwujudnya pembangunan di negara kita tercinta ini.

Soalnya, sumber anggaran pendapatan negara yang terbesar berasal dari pajak yang dipungut pemerintah dari masyarakat.

Memang, untuk jenis pajak penghasilan, lapisan masyarakat dengan pendapatan di bawah batas tertentu, tidak terkena pajak. Tapi, semua orang yang berbelanja barang dan jasa tertentu, sering tanpa disadari di dalamya telah termasuk komponen pajak yang nantinya oleh si penjual akan disetorkan ke negara.

Bahkan, jika kita makan di restoran, secara ketentuan akan terkena pajak, meskipun merupakan pajak yang dipungut oleh daerah (pemkab dan pemkot).

Jadi, sebagai warga negara yang baik, janganlah kita berpikir akan bisa menghindar dari kewajiban membayar pajak.

Apalagi, sekarang ini pemerintah sedang mempersiapkan implementasi penggunaan Nomor Induk Kependudukan (NIK) yang tercantum pada Kartu Tanda Penduduk (KTP) sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).

Tentu, bila hal itu sudah berlaku, akan semakin mudah bagi masyarakat untuk melaksanakan kewajiban perpajakannya, sekaligus mempermudah pemerintah untuk mengawasinya.

Tidak hanya soal NPWP yang berubah. Ada beberapa hal lagi yang berubah setelah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (RUU HPP) pada Kamis (7/10/2021) yang lalu.

Perubahan yang signifikan adalah yang terkait dengan mekanisme perhitungan tarif kewajiban Pajak Penghasilan (PPh) Pribadi. Kalau selama ini ada 4 lapisan tarif, sekarang menjadi 5 lapis, yakni sebagai berikut.

Pertama, untuk penghasilan Rp 0 sampai Rp 60 juta per tahun, dikenakan tarif PPh sebesar 5 persen.

Sebelumnya, batasannya adalah untuk penghasilan Rp 0 sampai Rp 50 juta, tapi tarifnya sama, yakni 5 persen.

Kedua, untuk penghasilan Rp 60 juta sampai Rp 250 juta per tahun, dikenakan tarif PPh sebesar 15 persen.

Ketentuan yag berlaku sebelumnya juga dengan tarif 15 persen, tapi untuk penghasilan Rp 50 juta hingga Rp 250 juta.

Ketiga, untuk penghasilan Rp 250 juta sampai Rp 500 juta per tahun, dikenakan tarif PPh sebesar 25 persen.

Ketentuan untuk lapisan ketiga ini sama persis dengan yang berlaku selama ini.

Keempat, untuk penghasilan Rp 500 juta hingga Rp 5 miliar per tahun, dikenakan tarif PPh sebesar 30 persen.

Sebelumnya, lapisan ini berlaku tanpa batas atas, maksudnya di atas Rp 500 juta per tahun sampai berapa pun, terkena tarif 30 persen.

Kelima, atau lapisan yang sebelumnya tidak ada, untuk penghasilan di atas Rp 5 miliar per tahun dikenakan tarif PPh sebesar 35 persen.

Jika memperhatikan tarif di atas, semakin besar penghasilan seseorang akan semakin besar persentase tarif pengenaan pajaknya. Itulah yang disebut dengan pajak progresif.

Tarif progresif dirasa lebih adil agar terdapat pemerataan, di mana orang kaya dipungut pajak lebih besar, dengan catatan dari pajak tersebut oleh pemerintah dikonversi menjadi bantuan bagi masyarakat yang kurang penghasilannya.

Atau, bisa juga digunakan pemerintah untuk melaksanakan berbagai program yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat kelas bawah.

Sebetulnya, bagi para karyawan yang menerima gaji, di mana pajak penghasilannya telah dipungut dan menjadi beban perusahaan tempatnya bekerja, relatif tidak mengalami dampak apa-apa.

Tapi, bagi profesional yang harus menghitung sendiri penghasilan dan jumlah pajak yang harus dibayarnya, peraturan baru di atas akan terasa dampaknya.

Sedangkan bagi pemerintah, jelas akan ada penambahan penerimaan pajak. Soalnya, mereka yang punya penghasilan di atas Rp 5 miliar per tahun, relatif banyak.

Memang, mereka yang berpenghasilan di atas Rp 5 miliar tersebut, jika mengacu pada gaji dan bonus para eksekutif di perusahaan skala nasional, adalah yang menjadi anggota direksi, komisaris serta senior executive vice president.

Tapi, mengingat jumlah perusahaan besar yang ribuan, bahkan bisa lebih dari itu, maka secara kumulatif akan lumayan juga menambah pemasukan pemerintah.

Belum lagi bila diperhitungkan pendapatan para profesional seperti dokter, notaris, akuntan, arsitek, konsultan, pengacara, dan sebagainya. Dan jangan lupa, ada beberapa artis papan atas yang akun media sosialnya punya jutaan pengikut dan dijuluki "sultan", mungkin terkena tarif PPh lapisan teratas.

Dok. Istimewa/m.merdeka.com
Dok. Istimewa/m.merdeka.com

Perubahan lain dengan disahkannya RUU HPP adalah terkait dengan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk barang kebutuhan pokok, jasa kesehatan, jasa pendidikan, jasa pelayanan sosial dan beberapa jenis jasa lain.

Jika sebelumnya media massa sempat ramai dengan wacana pajak sembako dan jasa kesehatan, ternyata yang disepakati pemerintah dan DPR, masyarakat berpenghasilan menengah dan kecil tidak dikenakan PPN atas konsumsi barang dan jasa tersebut.

Satu lagi, ada berita gembira, khususnya bagi pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), sehubungan dengan disahkannya RUU HPP.

UMKM dengan penghasilan di bawah Rp 500 juta per tahun, bakal bebas dari PPh, seperti ditulis Kompas.com (8/10/2021).

Padahal, yang berlaku selama ini, UMKM terkena PPh Final sebesar 0,5 persen. Artinya, dari omzet yang diterima, pelaku UMKM menyisihkan sebesar 0,5 persen untuk PPh yang bersifat final.

Dengan demikian, nuansa sebagai pajak berkeadilan sangat terasa pada ketentuan perpajakan yang baru. Orang tajir terkena tarif besar dan pelaku UMKM yang beromzet rendah dibebaskan dari PPh.

Kita tunggu saja bagaimana implementasinya dan semoga tidak ada penyimpangan di lapangan. Jangan sampai ada lagi oknum perpajakan yang bermain mata dengan wajib pajak yang nakal.

Pada dasarnya, rakyat tidak keberatan membayar pajak, tapi mohon dengan hormat agar praktik korupsi bisa dikikis habis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun