Ya, kalau masing-masing dewan tersebut sama pendapatnya dengan ketua umum, tidak ada masalah.
Namun, dalam hal kebijakan yang diambil ketua umum tidak didukung oleh dewan-dewan di atas, bisa saja menimbulkan kekisruhan.
Padahal, yang betul-betul memegang mandat kepengurusan sebetulnya ketua umum, sekretaris jenderal, dan bendahara. Masing-masing bisa saja punya wakil, seperti wakil ketua umum.
Jika ketua umum minta masukan, biasanya ada beberapa ketua bidang yang siap membantu, tergantung topik apa yang lagi dibahas.
Nah, jumlah bidang pun adakalanya terlalu banyak, sehingga terkesan bagi-bagi jabatan kepada mereka yang telah berkeringat dalam mendudukkan ketua umum.
Sedangkan anggota beberapa dewan di atas, kesannya hanya sekadar ucapan terima kasih kepada para senior, sehingga peran mereka tidak dilupakan begitu saja.
Akhirnya, organisasi yang "gemuk" menjadi tidak lincah. Tak heran, proses pengambilan keputusan kadang-kadang jadi bertele-tele.
Celakanya, format organisasi yang bengkak tersebut menular ke banyak organisasi non-formal.Â
Itulah yang terjadi di organisasi alumni sekolah yang saya menjadi salah satu anggotanya.
Karena perseteruan dewan pembina dengan ketua umum beserta jajarannya, akibatnya terjadi saling hujat dengan bahasa yang kasar.
Saling hujat itu dibaca semua anggota karena berlangsung di media sosial yang jejak digitalnya sulit dihapus karena sudah menyebar.