Ada iklan sebuah produk teh celup yang sering saya tonton di layar kaca. Dialog dalam iklan itu menarik perhatian saya karena mengandung nilai kesetaraan gender.Â
Tak perlu saya sebutkan nama produknya, agar tulisan ini tidak terkesan ikut mempromosikannya. Lagi pula, topik yang saya angkat tak ada kaitannya dengan teh celup.
Dialog dalam iklan tersebut kurang lebih seperti ini. Seorang suami dengan gembira berkata kepada istrinya; "Gaji papa naik besar, mama gak usah kerja".
Sang istri terlihat kaget dan kemudian merenung sebentar. Lalu ia mengajak suaminya minum teh terlebih dahulu (tentu teh dengan merek yang diiklankan).
Nah, setelah itu, sang istri mencoba menawar lagi dengan bertanya ke suaminya, bagaimana kalau ia tetap bekerja.
"Buat kita semua, pa. Buat anak-anak juga," tambah sang istri memperkuat argumennya kenapa ia masih perlu bekerja.
Bahwa gara-gara minum teh, si suami bisa berpikir jernih, bukan jadi topik tulisan ini. Tapi, mari kita bahas, apakah kalau suami punya banyak uang, istri tak perlu bekerja?
Sepertinya ada anggapan sebagian masyarakat bahwa suami yang baik adalah yang memanjakan istri dan tidak rela istrinya ikut-ikutan mencari nafkah. Mencari uang itu berat, biar suami saja.
Hal itu juga sejalan dengan anggapan umum di masyarakat kita bahwa tugas istri sebetulnya lebih banyak ke urusan internal rumah tangga.
Secara lebih spesifik, tugas istri itu disebutkan hanya di seputar dapur, sumur dan kasur.
Tapi, itu anggapan di zaman dulu, ketika wanita sengaja tidak disekolahkan tinggi-tinggi oleh orang tuanya.