Yang bikin teman saya kaget, ada papan nama yang bertuliskan: "Di sini sedang dibangun Pesantren xxx".Â
Dari cerita orang yang ditemuinya di situ, pesantren tersebut dibangun secara besar-besaran, lengkap dengan fasilitas asrama, masjid, dan sebagainya.
Teman tersebut kembali bertanya ke aparat desa dan mendapat jawaban agar teman ini menemui pimpinan pesantren yang tahu dan punya catatan sejarah tanah di sana.
Begitulah, hingga sekarang teman saya belum memutuskan langkah apa yang akan ditempuhnya demi menyelamatkan asetnya itu.
Namun, dari kisah di atas, dapat ditarik hikmah betapa pentingnya mengawasi tanah yang dibeli. Paling tidak, jangan lama-lama diterlantarkan.
Idealnya, begitu seseorang membeli tanah, dipatok dan dipagari sekelilingnya. Kalau perlu, pasang papan bertuliskan "Tanah ini Milik XXX". Sedangkan dari sisi dokumen, meskipun relatif mahal, sebaiknya langsung diurus pembuatan sertifikat hak milik atas tanah yang baru dibeli.
Seritifikat tersebut punya kedudukan yang kuat kalau nantinya ada perselisihan dengan pihak lain dan diproses secara hukum.
Kemudian, tak kalah pentingnya menjalin hubungan dengan Ketua RT atau kepala dusun di lokasi tanah yang dibeli. Minimal satu tahun sekali saat akan membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) atas tanah tersebut, si pemilik menengok ke lokasi dan bertemu Ketua RT-nya.
Langkah pengamanan lain adalah dengan mendekati dedengkot pemuda yang disegani di sana, agar ia ikut mengawasi dengan imbalan uang.Â
Pilihan lain, dengan mencari orang yang mau berkebun di tanah tersebut, di mana hasil kebunnya menjadi semacam upah untuk menjaga tanah.