Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

Punya Tanah Jangan Lama Diterlantarkan, Mau Untung Jadi Buntung

9 November 2021   11:00 Diperbarui: 9 November 2021   13:52 1021
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi properti tanah dan rumah.| Sumber: Kompas.com/Agus Susanto

Seorang teman bercerita kisah sedihnya terkait kepemilikan tanah. Ada dua bidang tanah yang dibelinya sekitar 15 tahun lalu, sekarang tidak jelas nasibnya.

Kwitansi pembelian dan surat dari kecamatan memang disimpannya, tapi yang tidak jelas adalah keberadaan tanah tersebut secara fisik.

Memang, ketika membeli dulu, teman saya ini orang sibuk karena menjadi salah satu pejabat di sebuah perusahaan besar di Sumatra.

Maka ketika ada sebidang tanah yang amat luas dijual oleh pemiliknya dengan memecah menjadi beberapa bidang, beberapa pejabat di sana pada membeli. 

Dan itu terjadi dua kali dengan jarak waktu sekitar 1-2 tahun. Hanya lokasi tanah pertama dan kedua berada di kecamatan yang berbeda, tapi sama-sama di luar kota (sudah masuk kabupaten tetangga dari ibu kota provinsi).

Pertimbangan teman tersebut hanya karena merasa harganya murah dan percaya dengan keterangan temannya yang membeli di area yang sama.

Jadi, teman saya ikut membeli tanpa melihat dulu ke lokasi. Namun, beberapa temannya sudah ke sana dan memperlihatkan foto tanah tersebut.

Lagipula, bagi teman saya tanah tersebut belum akan diapa-apakan, hanya sebagai salah satu cara menyimpan duit.

Teman saya tahu sekali bahwa kota provinsi akan terus berkembang, sehingga harga tanah yang dibelinya, saat ia pensiun nanti akan meningkat beberapa kali lipat.

Jelaslah, kalau begitu membeli tanah bukan sekadar menyimpan duit, tapi sekaligus untuk berinvestasi. Hal ini sudah diketahui umum, tak perlu lagi dipaparkan alasannya.

Yang jelas, penduduk selalu bertambah, padahal jumlah tanah tidak bertambah. Inilah yang membuat harga tanah cenderung naik terus.

Apalagi tanah yang berada di kawasan penyangga kota-kota besar, karena arus urbanisasi, desa-desa di area tersebut berkembang jadi kota satelit. Tentu harga tanah di sana juga melejit.

Nah, sekarang teman itu sudah pensiun sejak 2 tahun lalu. Tentu saja ia ingin melihat investasinya tersebut. Kalaupun ia tak berniat membangun, tanah tersebut bisa dijual dengan menuai keuntungan yang berlipat ganda.

Ketika ia menghubungi beberapa temannya yang dulu sama-sama membeli tanah, ternyata mereka sudah menjual tanahnya.

Lalu, dengan ditemani salah seorang temannya yang tahu lokasi, teman saya pun melakukan kunjungan on the spot untuk memastikan seperti apa kondisi tanahnya saat ini.

Ternyata di area tersebut sudah menjadi sebuah komplek perumahan yang menyediakan rumah sederhana.

Memang, ada beberapa bidang yang masih ditumbuhi semak belukar, namun teman ini bingung mencari tanah miliknya karena sistem penomorannya telah berubah, berbeda dengan yang tertera di dokumen pembelian yang dipegangnya.

Sewaktu ia meminta informasi ke aparat desa setempat, ia mendapat jawaban yang mengambang, sehinga menimbulkan kecurigaan, jangan-jangan ada oknum desa yang "bermain" dengan menjual tanah miliknya.

Beberapa hari kemudian, teman saya pergi lagi ke lokasi tanahnya yang kedua, yang juga ditemani seseorang yang dianggapnya tahu lokasi.

Ia mendapati jalan ke lokasi sudah diaspal dan lumayan lebar, padahal dari cerita teman-temannya sewaktu dulu ia membeli tanah, jalan ke lokasi masih berupa jalan tanah yang sulit dilalui kendaraan roda empat.

Begitu ia sampai di hamparan tanah yang diyakininya kapling miliknya ada di dalam hamparan itu, sekeliling area tersebut sudah diberi patok-patok.

Yang bikin teman saya kaget, ada papan nama yang bertuliskan: "Di sini sedang dibangun Pesantren xxx". 

Dari cerita orang yang ditemuinya di situ, pesantren tersebut dibangun secara besar-besaran, lengkap dengan fasilitas asrama, masjid, dan sebagainya.

Teman tersebut kembali bertanya ke aparat desa dan mendapat jawaban agar teman ini menemui pimpinan pesantren yang tahu dan punya catatan sejarah tanah di sana.

Ilustrasi investasi tanah|dok. invesproperti.id
Ilustrasi investasi tanah|dok. invesproperti.id

Begitulah, hingga sekarang teman saya belum memutuskan langkah apa yang akan ditempuhnya demi menyelamatkan asetnya itu.

Namun, dari kisah di atas, dapat ditarik hikmah betapa pentingnya mengawasi tanah yang dibeli. Paling tidak, jangan lama-lama diterlantarkan.

Idealnya, begitu seseorang membeli tanah, dipatok dan dipagari sekelilingnya. Kalau perlu, pasang papan bertuliskan "Tanah ini Milik XXX". Sedangkan dari sisi dokumen, meskipun relatif mahal, sebaiknya langsung diurus pembuatan sertifikat hak milik atas tanah yang baru dibeli.

Seritifikat tersebut punya kedudukan yang kuat kalau nantinya ada perselisihan dengan pihak lain dan diproses secara hukum.

Kemudian, tak kalah pentingnya menjalin hubungan dengan Ketua RT atau kepala dusun di lokasi tanah yang dibeli. Minimal satu tahun sekali saat akan membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) atas tanah tersebut, si pemilik menengok ke lokasi dan bertemu Ketua RT-nya.

Langkah pengamanan lain adalah dengan mendekati dedengkot pemuda yang disegani di sana, agar ia ikut mengawasi dengan imbalan uang. 

Pilihan lain, dengan mencari orang yang mau berkebun di tanah tersebut, di mana hasil kebunnya menjadi semacam upah untuk menjaga tanah.

Tapi, itupun si pemilik tetap sesekali harus datang ke lokasi, soalnya orang yang kita titipi tugas belum tentu bisa dipercaya 100 persen.

Kalau diterlantarkan tanpa pengawasan, lama tanpa ditengoki, jangan kaget kalau akhirnya mengalami kisah sedih seperti cerita teman saya di atas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun