Yang jelas, penduduk selalu bertambah, padahal jumlah tanah tidak bertambah. Inilah yang membuat harga tanah cenderung naik terus.
Apalagi tanah yang berada di kawasan penyangga kota-kota besar, karena arus urbanisasi, desa-desa di area tersebut berkembang jadi kota satelit. Tentu harga tanah di sana juga melejit.
Nah, sekarang teman itu sudah pensiun sejak 2 tahun lalu. Tentu saja ia ingin melihat investasinya tersebut. Kalaupun ia tak berniat membangun, tanah tersebut bisa dijual dengan menuai keuntungan yang berlipat ganda.
Ketika ia menghubungi beberapa temannya yang dulu sama-sama membeli tanah, ternyata mereka sudah menjual tanahnya.
Lalu, dengan ditemani salah seorang temannya yang tahu lokasi, teman saya pun melakukan kunjungan on the spot untuk memastikan seperti apa kondisi tanahnya saat ini.
Ternyata di area tersebut sudah menjadi sebuah komplek perumahan yang menyediakan rumah sederhana.
Memang, ada beberapa bidang yang masih ditumbuhi semak belukar, namun teman ini bingung mencari tanah miliknya karena sistem penomorannya telah berubah, berbeda dengan yang tertera di dokumen pembelian yang dipegangnya.
Sewaktu ia meminta informasi ke aparat desa setempat, ia mendapat jawaban yang mengambang, sehinga menimbulkan kecurigaan, jangan-jangan ada oknum desa yang "bermain" dengan menjual tanah miliknya.
Beberapa hari kemudian, teman saya pergi lagi ke lokasi tanahnya yang kedua, yang juga ditemani seseorang yang dianggapnya tahu lokasi.
Ia mendapati jalan ke lokasi sudah diaspal dan lumayan lebar, padahal dari cerita teman-temannya sewaktu dulu ia membeli tanah, jalan ke lokasi masih berupa jalan tanah yang sulit dilalui kendaraan roda empat.
Begitu ia sampai di hamparan tanah yang diyakininya kapling miliknya ada di dalam hamparan itu, sekeliling area tersebut sudah diberi patok-patok.