Sejatinya, kelahiran orde reformasi setelah tumbangnya rezim orde baru pada 1998 lalu, dimaksudkan antara lain untuk membentuk pemerintahan yang bersih, bebas dari praktik korupsi.
Sayangnya, dengan mengamati berbagai kasus korupsi yang telah terungkap melalui pemberitaan di media massa, justru sekarang ini pejabat yang korup semakin tersebar, bahkan sampai ke pelosok desa.
Ada kesan, mereka yang dulu berteriak melawan korupsi, ketika mendapat kesempatan duduk di pemerintahan, baik level pusat atau daerah, termasuk pula yang menjadi wakil rakyat, ada yang tergoda mengambil uang negara.
Dan yang disebut uang negara itu, sebetulnya uang rakyat juga, karena anggaran negara sebagian besar berasal dari berbagai jenis pajak yang dipungut dari rakyat.
Gagal maning, gagal maning. Begitulah kira-kira kata yang pantas diucapkan atas fenomena masih maraknya praktik korupsi di negara kita tercinta ini.
Bukannya kita tidak memberikan apresiasi atas upaya aparat penegak hukum yang telah berhasil mengungkapkan sejumlah kasus korupsi.
Tapi, bukankan keberhasilan itu sekaligus membuktikan bahwa upaya pencegahan korupsi masih belum berhasil sesuai harapan masyarakat?
Artinya, ada sesuatu yang perlu pembenahan luar biasa dalam penanganan korupsi. Soalnya, hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku korupsi belum mendatangkan efek jera kepada yang lain.
Bisa pula dikatakan, hal itu mengindikasikan masih ada celah dalam sistem penggunaan anggaran pemerintah yang dimanfaatkan oleh oknum pejabat yang integritasnya rendah.
Ya, akhirnya berbicara soal korupsi, hal penting yang paling menentukan adalah soal integritas aparat pemerintah.
Nah, dulu ada anggapan kalau yang dikorup itu adalah proyek-proyek besar yang anggarannya tentu juga besar.Â
Makanya, terjadi kasus dalam pembangunan jalan raya, pembangunan bendungan, atau contoh nyata adanya proyek yang mangkrak akibat kasus korupsi adalah pembangunan pusat pelatihan olahraga di Hambalang, Jawa Barat.
Belakangan, proyek yang terkesan "receh" (tapi kalau ditotal, besar juga nilainya) seperti pengadaan bantuan sosial pun diembat juga.Â
Proyek "receh" lainnya yang semakin banyak terkuak, berkaitan dengan kasus penyalahgunaan anggaran dana desa.
Iseng-iseng, coba saja ketik "korupsi dana desa" di aplikasi pencari informasi, maka ada banyak sekali kasus yang terungkap.
Yang relatif baru, misalnya terjadi di Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, di mana dua eks Kepala Desa dibui karena melakukan korupsi alokasi dana desa sebesar Rp 487 juta dengan melakukan kegiatan fiktif (merdeka.com, 13/9/2021).
Kasus korupsi dana desa lainnya tersebar di banyak daerah, antara lain di Simeulue (Aceh), Labuhanbatu Utara (Sumut), Kabupaten Kampar, Meranti, dan Indragiri Hilir (semuanya di Riau), Garut (Jabar), Gowa (Sulsel), dan Maluku Tengah (Maluku).
Berdasarkan data Indonesia Corruption Watch (ICW), sejak 2015 hingga 2020 terdapat 676 terdakwa kasus korupsi dari perangkat desa, dengan total kerugian negara Rp 111 miliar (Kompas.com, 22/3/2021).
Membaca berita tersebut, tentu membuat kita miris. Sebegitu susahnya ternyata memerangi korupsi.Â
Tapi, perjuangan melawan korupsi seharusnya tidak mengenal kata menyerah. Hanya ada satu kata, lawan!
Tak bisa lain, masyarakat harus ikut aktif dalam peperangan melawan korupsi itu. Caranya, untuk masyarakat di desa-desa, antara lain dengan memilih calon kepala desa yang integtitasnya telah teruji.
Jadi, rekam jejak para calon kepala desa harus diteliti, di pekerjaannya sebelum mencalonkan diri sebagai kepala desa, apakah si calon bertindak jujur dan terpercaya.
Demikian pola cara si calon saat berkampanye. Pemilihan kepala desa diduga cukup menguras uang si calon, terutama bila bermain politik uang. Nah, yang seperti ini yang jangan dipilih.
Soalnya, kalau sampai calon yang membagi-bagi uang menang, jangan heran bila nantinya ia akan "kreatif" menilap anggaran, agar modalnya kembali.
Diduga, seperti juga pada pilkada, meskipun sulit dibuktikan, kesan masih dipakainya politik uang, berkemungkinan besar terjadi pula di pikades.
Memang, calon kepala desa tidak boleh terlibat dalam politik praktis dan keikutsertaannya pada pilkades bukan atas nama partai politik.
Tapi, cara-cara sebagian orang partai dalam kamapanye pileg atau pilkada, ditiru oleh calon kepala desa, sehingga si calon ini harus punya dana besar jika mau terpilih.
Kenapa para calon kepala desa berani menghabiskan banyak uang? Karena setiap tahunnya ada "jatah" anggaran dana desa yang relatif besar, bisa mencapai Rp 1 miliar.Â
Itulah yang membuat jabatan kepala desa semakin seksi, meskipun gaji resminya setiap bulan relatif kecil, masih di bawah Rp 5 juta.
Dana desa tersebut, jika dimanfaatkan sepenuhnya tanpa aroma korupsi, sangat berperan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat di suatu desa.
Ada desa yang sukses membangun Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), ada juga yang sukses membangun obyek wisata alam.Â
Dengan proyek yang sukses di atas membuat dana desa semakin berkembang lagi, sehingga nanti bisa dipakai membantu bidang pendidikan, kesehatan, dan sosial di desa tersebut.
Diperkirakan, pada tahun ini banyak kabupaten yang telah menjadwalkan pilkades serentak.Â
Sekali lagi, bagi warga desa yang punya hak pilih dalam pilkades, agar memilih berdasarkan hati nurani dengan memenangkan calon yang telah teruji integritasnya.
Setelah memilih, tugas masyarakat belum selesai. Sebaiknya warga desa iku aktif mengawasi penggunaan dana desa dan kepala desa harus memberikan informasi yang terbuka.
Masalahnya, dengan tingkat pendidikan dan tingkat kesejahteraan yang relatif rendah, warga desa gampang tergiur memilih calon yang royal bagi-bagi duit atau hadiah saat kampanye.
Untuk itu, edukasi dari para penggiat anti korupsi sangat diharapkan, dengan terjun langsung ke desa-desa yang mau menggelar pilkades. Tentu ini perlu didukung oleh tokoh masyarakat setempat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H