Dan soal siapa yang berkata kasar di media sosial, ternyata bisa dilakukan oleh orang yang terdidik secara formal dan punya kedudukan di sebuah institusi.
Demikian pula orang yang tua secara usia, tak semua pasti lebih bijak. Ada yang membangga-banggakan jabatan yang dulu pernah diembannya untuk meyakinkan anggota lain bahwa pendapatnya paling benar.Â
Soal adu kebanggaan ini, memang sangat mewarnai grup percakapan di media sosial. Tak sekadar apa yang dimakan atau tempat apa yang dikunjungi yang dipamerkan.
Para remaja cenderung membanggakan penampilannya, makanya memposting foto sendiri sering mereka lakukan.
Tapi, mereka yang sudah setengah baya akan saling bercerita soal pengalaman, yang secara implisit menggambarkan "tahta" yang pernah didudukinya dan harta yang diperolehnya.
Selain itu, pada grup yang anggotanya heterogen, sering beberapa anggota kurang peka, kurang menenggang perasaan teman yang berbeda agama, berbeda suku, atau berbeda profesi dan status sosial.
Contohnya, ada anggota yang sering mengirim konten dakwah Islam. Baik-baik saja sebetulnya, tapi lebih baik lagi anggota yang sama-sama membutuhkan konten pengajian membuat grup tersendiri.
Sebaliknya, ada pula anggota yang sering mengirim lelucon yang nyerempet pornografi. Padahal, sebagian anggota merasa risih, namun tidak berani berkomentar.
Demikian pula mereka yang gemar memanfaatkan grup media sosial yang heterogen untuk tujuan politik, membuat mereka yang pilihan politiknya berbeda jadi tidak nyaman.
Begitulah, percakapan di grup media sosial dengan anggota yang heterogen dari sisi agama, suku, pekerjaan, usia, gender, hobi, menjadi grup yang rawan merusak toleransi gara-gara didominasi oleh anggota yang vokal.
Bila anggota yang vokal ditantang oleh anggota lainnya yang juga tak kalah vokal, kondisi makin rumyam.