Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Penulisan Biografi, Haruskah Berpola "Sengsara Membawa Nikmat"?

21 November 2021   18:10 Diperbarui: 21 November 2021   18:44 642
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seorang teman saya, sebut saja namanya Amir, tiba-tiba mengirim dokumen ke akun media sosial saya. Tak ada sedikit kata pengantar untuk menjelaskan apa maksudnya, tapi sekilas terbaca judulnya "Biografi Ringkas Amir Kasim".

Saya tidak tertarik membaca, tapi saya kasih tanda jempol. Amir tidak membalas, saya pikir ia kecewa karena saya tidak memberikan komentar.

Sebetulnya saya tidak terlalu akrab dengan Amir, meskipun sekitar 4 dekade yang lalu pernah satu kelas dengan saya di sebuah sekolah menengah di Payakumbuh, Sumatera Barat.

Kemudian setelah lulus sekolah, kami lama sekali tidak saling kontak. Namun, sekitar 10 tahun lalu saya dapat informasi bahwa Amir menjadi seorang pejabat di sebuah perusahaan milik negara yang bergerak di bidang asuransi.

Lalu, pada sebuah acara resepsi pernikahan di Jakarta, saya kebetulan bertemu Amir. Kami sempat ngobrol-ngobrol sebentar dan kesan bahwa ia sudah sukses cukup terwakili dari penampilan dan isi pembicaraannya.

Setelah itu kami tetap jarang chatting di media sosial, makanya ketika tanpa aba-aba ia mengirim biografi, cukup mengejutkan saya.

Akhirnya, ketika ada waktu luang saya sempatkan membaca biografi teman saya itu. Rasanya saya kurang menghargai bila mendiamkannya saja.

Biografinya belum dalam bentuk buku, tapi berupa hasil ketikan biasa sekitar 25 halaman. Ya, semacam biografi ringkas dan tidak rinci dalam mengisahkan setiap babak kehidupannya.

Rupanya biografi tersebut dimaksudkan sebagai dokumentasi perjalanan hidupnya dan harapannya menjadi pelajaran bagi anak-anak dan keponakannya.

Ada dua bagian yang dieksplor dalam  biografi itu. Pertama, cukup banyak porsi bagi penderitaan di masa kecilnya, termasuk waktu Amir satu sekolah dengan saya. 

Yang saya baru tahu, ternyata dari kampungnya Amir harus berjalan kaki dulu setengah hari baru sampai di kota kecamatan. Dari situ ia bisa mendapatkan bus ke kota Payakumbuh.

Makanya, Amir hanya pulang kampung ketika libur panjang dan ketika lebaran saja. Ia kos di sebuah tempat sederhana tak jauh dari sekolah.

Jangan bayangkan tempat kos zaman dulu seperti sekarang yang masing-masing orang punya kamar. Dulu, kebanyakan di sebuah kamar kecil diisi oleh beberapa orang.

Seingat saya, waktu sekolah dulu Amir termasuk suka bergaya dan saya menduga ayahnya petani yang sukses, meski desanya memang terisolir.

Artinya, Amir punya rasa percaya diri yang tinggi, dan saya tidak melihat ia seperti orang "udik". Sol sepatunya tinggi dan celananya bergaya cutbray berkaki lebar yang memang lagi mode ketika itu.

Kedua, tentang perjuangannya meniti karir setelah tamat dari sebuah perguruan tinggi swasta di Yogyakarta. Untuk bagian ini saya tidak bisa berkomentar karena lebih berupa daftar riwayat posisi yang didudukinya.

Selain itu, Amir juga menuliskan kiprahnya di sebuah yayasan sosial yang didirikannya. Kegiatan yayasan terfokus pada pemberian beasiswa kepada anak-anak tidak mampu.

Begitulah kisah teman saya itu. Saya salah duga, tadinya saya kira ia menulis biografi dalam rangka kampanye mau ikut pilkada. 

Namun, dari penuturannya sewaktu saya telepon, Amir mengajak saya untuk bekerja sama membesarkan yayasannya tersebut.

Menurut saya, memang ada baiknya menyusun  biografi seperti yang dilakukan Amir, meskipun saya sendiri belum melakukannya.

Mungkin akan ada yang mengira, biografi tak lebih dari pamer kesuksesan. Tapi, sepanjang kisahnya ditulis secara jujur, tidak melebih-lebihkan penderitaan masa kecil, serta tidak melebih-lebihkan kesuksesannya, oke-oke saja.

Dan tidak harus jadi orang besar untuk menulis biografi. Teman saya Amir Kasim tersebut belum menjadi tokoh nasional, tapi namanya harum di mata keluarga besarnya dan juga di kampung halamannya.

Nah, kebetulan saya punya koleksi beberapa buku biografi yang kebanyakan memang pakem penulisannya bergaya "sengsara membawa nikmat".

Kisah berpola penderitaan yang jadi pelecut untuk menggapai sukses, memang sangat gampang ditemui pada biografi orang-orang besar di negeri ini.

Biografi yang saya baca, selain kisah beberapa orang pejabat tinggi negara, kebanyakan adalah riwayat para pebisnis tangguh nasional. 

Yang saya ingat langsung, kisah Chairul Tanjung yang ketika kecil hanya seorang "anak singkong", kemudian sukses memiliki "kerajaan" bisnis CT Corp.

Atau, para pengusaha ulung seperti Mochtar Riyadi, Liem Sioe Liong, Ciputra, atau William Soerjadjaja, masa kecilnya juga "berdarah-darah".

Di luar negeri pun juga sama. Coba baca kisah hidup Jack Ma, orang terkaya di China dan pendiri Alibaba.com, dulunya hidup sederhana sebagai seorang guru Bahasa Inggris.

Jika masih ada yang belum begitu yakin dengan larisnya pakem penulisan biografi berpola "sengsara membawa nikmat", coba saja iseng-iseng ke Gramedia.  

Ada buku yang jadi sampel dan bisa dibaca sekilas di Gramedia, atau di sampul belakang buku biasanya ada semacam ringkasan buku.

Jangan-jangan akhirnya muncul anggapan, hanya mereka yang menderita dan kemudian meraih kesuksesan mengubah nasibnya, yang layak membuat biografi.

Artinya, mereka yang dulunya menderita dan tetap belum sukses secara materi di usia tua, atau belum sukses di bidang tertentu, tidak layak menulis biografi.

Demikian pula mereka yang dari kecil sudah terlahir dari keluaraga kaya dan tetap makmur di usia tua, juga kurang pas kalau menulis biografi. 

Yang paling parah, mereka yang awalnya bergelimang harta kemudian bangkrut, sehingga polanya terbalik jadi "nikmat membawa sengsara", akan sangat malu bila menulis biografi.

Padahal, dalam kondisi seperti apapun, seseorang perlu menulis biografi, baik untuk dirinya sendiri dan juga jadi pelajaran bagi yang lain, khususnya yang membaca biografi tersebut.

Pelajaran tidak hanya didapat dari kisah sukses. Justru, kisah kegagalan  sangat bernilai sebagai pelajaran, agar pembaca bisa mengantisipasi dan tidak mengalami hal serupa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun