Makanya, Amir hanya pulang kampung ketika libur panjang dan ketika lebaran saja. Ia kos di sebuah tempat sederhana tak jauh dari sekolah.
Jangan bayangkan tempat kos zaman dulu seperti sekarang yang masing-masing orang punya kamar. Dulu, kebanyakan di sebuah kamar kecil diisi oleh beberapa orang.
Seingat saya, waktu sekolah dulu Amir termasuk suka bergaya dan saya menduga ayahnya petani yang sukses, meski desanya memang terisolir.
Artinya, Amir punya rasa percaya diri yang tinggi, dan saya tidak melihat ia seperti orang "udik". Sol sepatunya tinggi dan celananya bergaya cutbray berkaki lebar yang memang lagi mode ketika itu.
Kedua, tentang perjuangannya meniti karir setelah tamat dari sebuah perguruan tinggi swasta di Yogyakarta. Untuk bagian ini saya tidak bisa berkomentar karena lebih berupa daftar riwayat posisi yang didudukinya.
Selain itu, Amir juga menuliskan kiprahnya di sebuah yayasan sosial yang didirikannya. Kegiatan yayasan terfokus pada pemberian beasiswa kepada anak-anak tidak mampu.
Begitulah kisah teman saya itu. Saya salah duga, tadinya saya kira ia menulis biografi dalam rangka kampanye mau ikut pilkada.Â
Namun, dari penuturannya sewaktu saya telepon, Amir mengajak saya untuk bekerja sama membesarkan yayasannya tersebut.
Menurut saya, memang ada baiknya menyusun  biografi seperti yang dilakukan Amir, meskipun saya sendiri belum melakukannya.
Mungkin akan ada yang mengira, biografi tak lebih dari pamer kesuksesan. Tapi, sepanjang kisahnya ditulis secara jujur, tidak melebih-lebihkan penderitaan masa kecil, serta tidak melebih-lebihkan kesuksesannya, oke-oke saja.
Dan tidak harus jadi orang besar untuk menulis biografi. Teman saya Amir Kasim tersebut belum menjadi tokoh nasional, tapi namanya harum di mata keluarga besarnya dan juga di kampung halamannya.