Seorang teman saya, sebut saja namanya Amir, tiba-tiba mengirim dokumen ke akun media sosial saya. Tak ada sedikit kata pengantar untuk menjelaskan apa maksudnya, tapi sekilas terbaca judulnya "Biografi Ringkas Amir Kasim".
Saya tidak tertarik membaca, tapi saya kasih tanda jempol. Amir tidak membalas, saya pikir ia kecewa karena saya tidak memberikan komentar.
Sebetulnya saya tidak terlalu akrab dengan Amir, meskipun sekitar 4 dekade yang lalu pernah satu kelas dengan saya di sebuah sekolah menengah di Payakumbuh, Sumatera Barat.
Kemudian setelah lulus sekolah, kami lama sekali tidak saling kontak. Namun, sekitar 10 tahun lalu saya dapat informasi bahwa Amir menjadi seorang pejabat di sebuah perusahaan milik negara yang bergerak di bidang asuransi.
Lalu, pada sebuah acara resepsi pernikahan di Jakarta, saya kebetulan bertemu Amir. Kami sempat ngobrol-ngobrol sebentar dan kesan bahwa ia sudah sukses cukup terwakili dari penampilan dan isi pembicaraannya.
Setelah itu kami tetap jarang chatting di media sosial, makanya ketika tanpa aba-aba ia mengirim biografi, cukup mengejutkan saya.
Akhirnya, ketika ada waktu luang saya sempatkan membaca biografi teman saya itu. Rasanya saya kurang menghargai bila mendiamkannya saja.
Biografinya belum dalam bentuk buku, tapi berupa hasil ketikan biasa sekitar 25 halaman. Ya, semacam biografi ringkas dan tidak rinci dalam mengisahkan setiap babak kehidupannya.
Rupanya biografi tersebut dimaksudkan sebagai dokumentasi perjalanan hidupnya dan harapannya menjadi pelajaran bagi anak-anak dan keponakannya.
Ada dua bagian yang dieksplor dalam  biografi itu. Pertama, cukup banyak porsi bagi penderitaan di masa kecilnya, termasuk waktu Amir satu sekolah dengan saya.Â
Yang saya baru tahu, ternyata dari kampungnya Amir harus berjalan kaki dulu setengah hari baru sampai di kota kecamatan. Dari situ ia bisa mendapatkan bus ke kota Payakumbuh.