Terlalu cepat rasanya saya harus mencopot lembar demi lembar kalender yang saya gantung di dinding ruang tengah rumah saya.
Satu lembar kalender berisi penanggalan buat dua bulan. Persis pagi tanggal 1 September kemarin, lembaran ke 4 dari kalender 2021 yang berisikan tanggal di bulan Juli dan Agustus 2021, saya pindahkan menjadi lembar paling belakang.
Dulu, kata ibu saya, kalau nama bulan sudah diakhiri dengan "ember", yakni dari September hingga Desember, artinya kita harus siap-siap menghadapi musim hujan.
Tapi, itu dulu. Sudah beberapa tahun ini kita di Indonesia, seperti juga di berbagai belahan dunia, mengalami ketidakpastian akibat perubahan iklim.
Nah, menurut para pakar yang mengamati prakiraan cuaca, pada September ini, Indonesia justru perlu mewaspadai datangnya puncak musim kemarau.
Setiap datangnya musim kemarau, terbayang kesulitan masyarakat di daerah tertentu yang mengalami kesulitan mendapatkan air bersih.
Selain itu, yang bisa dikatakan sebagai masalah nasional dan sekaligus dikeluhkan oleh negara tetangga adalah masalah kebakaran hutan dan lahan (karhutla).
Karhutla bukan saja kebakaran dalam arti tidak sengaja terbakar, tapi ada yang memang disengaja untuk mendapatkan keuntungan bagi pihak tertentu.
Yang membakar tersebut bisa korporasi atau perusahaan besar. Sangat mungkin perusahaan tersebut melakukan pembakaran secara ilegal.
Bisa pula warga sekitar yang melakukan pembakaran untuk area yang lebih kecil. Nantinya setelah dibakar akan dipakai untuk berkebun.
Sedangkan yang terbakar karena ketidaksengajaan, bisa jadi karena ketelodoran (misalnya api unggun, api rokok) yang ditambah karena faktor angin di musim kemarau, membuat sesuatu mudah terbakar.
Jangan pula dilupakan karhutla karena bencana alam seperti letusan vulkanik, petir, dan sebagainya.
Karhutla sangat buruk dampaknya bagi lingkungan hidup. Keanekaragaman hayati menjadi terancan, satwa liar semakin terdesak, banjir saat musim hujan, kekeringan di musim kemarau, masyarakat sekitar menderita penyakit saluran pernapasan, dan sebagainya.
Bukan sekarang saja karhutla jadi masalah. Sejak dulu, berbagai pihak, termasuk seniman, sudah mengungkapkan keprihatinannya.
Saya teringat lagu yang ngetop tahun 1978 berjudul "Kemarau" yang dinyanyikan grup New Rollies.
Bagi yang penasaran, coba simak video dan liriknya yang saya sertakan di bawah ini.
Panas nian kemarau ini
Rumput-rumput pun merintih sedih
Lemah tak berdaya di terik sang surya
Bagaikan dalam neraka
Curah hujan yang dinanti-nanti
Tiada juga datang menitik
Kering dan gersang menerpa bumi
Yang panas bagai dalam neraka
    Mengapa...mengapa hutanku hilang
    Dan tak pernah tumbuh lagi
    Mengapa...mengapa hutanku hilang
    Dan tak pernah tumbuh lagi
Curah hujan yang dinanti-nanti
Tiada juga datang menitik
Kering dan gersang menerpa bumi
Yang panas bagai dalam neraka
Lagu Kemarau tersebut sangat digemari masyarakat ketika itu, meskipun liriknya berbicara tentang lingkungan hidup, sesuatu yang berbeda dengan lagu-lagu cinta remaja yang banyak beredar.
Apalagi musik New Rollies terasa lebih berkelas, bukan sekadar musik pop biasa. Rollies banyak memasukkan unsur brass section dan sentuhan funk.
Dinilai memberikan kontribusi yang menggugah masyarakat untuk memahami masalah lingkungan hidup, lagu Kemarau yang diciptakan oleh Oetje F Tekol (pemain bas New Rollies) dianugerahi penghargaan "Kalpataru" oleh Emil Salim, Menteri Lingkungan Hidup pada tahun 1979.
Semoga lagu tersebut kembali mengingatkan kita agar tidak hidup bagaikan dalam neraka dengan mewaspadai bahaya di musim kemarau.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI