Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Lelang Jabatan: Pola yang Benar dan yang Jadi Modus Korupsi

1 September 2021   19:18 Diperbarui: 1 September 2021   19:18 449
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bupati Probolinggo dan suami ketika tiba di Gedung KPK, Senin 30/8/2021|Foto: Suara.com/Welly Hidayat

Musibah pandemi yang melanda negara kita sejak 1,5 tahun terakhir ini ternyata tidak mengurangi terjadinya berbagai tindak pidana korupsi di sejumlah daerah.

Berita terbaru yang banyak diberitakan media massa, antara lain seperti ditulis wartaekonomi.co.id (31/8/2021), adalah tentang kasus suap lelang jabatan kades (kepala desa).

Kali ini yang jadi tersangka adalah Bupati Probolinggo (Jawa Timur), Puput Tantriana Sari, dan suaminya yang menjadi anggota DPR RI, Hasan Aminuddin.

Kedua tersangka di atas telah ditahan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Penahanan akan berlangsung selama 20 hari pertama, terhitung sejak 31 Agustus 2021 sampai dengan 19 September 2021.

Kasus di atas semakin memperpanjang daftar kepala daerah, baik gubernur, bupati, atau wali kota, yang tersandung masalah korupsi.

Tak salah kalau disebutkan "kapok lombok" terhadap fenomena di atas. Seperti ketika seseorang sehabis makan makanan yang pedas karena banyak lombok (cabe)-nya, langsung merasa kapok.

Eh, gak tahunya, ketika besok-besok ada makanan yang pedas lagi, tetap saja diembat. Makanya disebut dengan kapok lombok.

Tapi, terlepas dari kasus yang sedang dihadapi Bupati Probolinggo, agar tidak rancu, perlu dibedakan antara "lelang jabatan" dengan "jual beli jabatan".

Kalau misalnya dalam lelang jabatan tersebut, kandidat yang dimenangkan adalah orang yang paling kuat membayar kepada oknum yang punya kewenangan, ini merupakan lelang jabatan yang keliru.

Lelang jabatan dengan pola yang keliru itu lebih tepat disebut jual beli jabatan dan jelas jadi salah satu modus dalam tindak pidana korupsi.

Namun, jangan salah sangka. Lelang jabatan itu ada lho versi yang benar dan sama sekali tidak disusupi oleh permainan uang atau hal melawan hukum lainnya.

Mungkin agar tidak berkonotasi negatif, istilah lelang jabatan lazimnya di perusahaan kelas atas yang sudah menerapkan prinsip tata kelola yang baik (Good Corporate Governance, sering disingkat GCG) disebut dengan job opening.

Dalam hal ini, direksi perusahaan, atau melalui divisi yang menangani sumber daya manusia, membuat pengumuman adanya program job opening yang gampang diketahui semua karyawan.

Apa saja jabatan yang lowong, persyaratan yang harus dipenuhi calon yang berminat, dan tahapan serta jadwal seleksi yang akan dilakukan, semuanya diumumkan.

Dan yang terpenting, kualifikasi kompetensi yang dibutuhkan untuk masing-masing jabatan yang diperebutkan, dijelaskan secara terbuka.

Jadi, karyawan yang tertarik tidak saja harus memenuhi persyaratan administrasi (seperti pengalaman kerja, pendidikan terakhir, usia maksimal, dan sebagainya), tapi juga merasa memenuhi kualifikasi kompetensi.

Contohnya, untuk mengisi jabatan kepala bagian pemasaran, akan lebih membutuhkan karyawan yang punya kompetensi dalam berinteraksi dengan orang lain. 

Penjabarannya kira-kira dengan melihat kemampuan si calon dalam membina relasi, mempengaruhi oran lain, gigih mengejar target, percaya diri yang kuat, dan tulus melayani pelanggan.

Sedangkan untuk jabatan kepala bagian akuntansi, maka kompetensi yang berkaitan dengan pemikiran analitis, kepedulian terhadap kualitas dan akurasi data, menjadi kompetensi yang dicari dari mereka yang ikut seleksi.

Kembali ke soal lelang jabatan di instansi pemerintah, tentu tidak persis sama dengan job opening di suatu perusahaan seperti yang diuraikan di atas.

Namun, pada dasarnya, dengan beberapa modifikasi, seharusnya job opening sebagai pola lelang jabatan yang benar bisa pula berjalan dengan baik di lingkungan pemerintahan.

Jika saja semua jabatan di pemerintah diisi oleh orang-orang yang kompeten, bukan siapa yang kuat membayar, jelas akan berdampak positif bagi kinerja pemerintah secara keseluruhan.

Karena instansi pemerintah adalah pelayan masyarakat, maka keberhasilan dalam menempatkan orang yang tepat di setiap posisi, juga akan meningkatkan kualitas pelayanan terhadap masyarakat.

Adapun bila orang yang berani membayar mahal yang akan diberikan suatu jabatan, pasti ia punya target agar modalnya yang amblas bisa kembali. 

Kalau itu yang terjadi, jelas akan menyuburkan praktik korupsi. Sejak dimulainya era reformasi, perang terhadap korupsi semakin ditingkatkan, namun tetap belum berhasil sesuai harapan kita bersama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun