Pembelajaran Tatap Muka (selanjutnya ditulis PTM) di sebagian daerah sudah mulai dilakukan. Tentu, hal tersebut dilakukan dengan beberapa penyesuaian agar sesuai dengan protokol kesehatan.
Guru, pelajar, dosen dan mahasiswa pasti senang menyambut PTM. Kebetulan saya pernah jadi dosen tidak tetap di sebuah Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE).
Sungguh saya kurang menikmati cara belajar online, sehingga sejak Agustus 2020, ketika saya ditawari lagi untuk memegang mata kuliah "Pengantar Akuntansi", saya tidak bersedia.
Nah, dari perbincangan saya dengan beberapa orang guru, dosen, juga mahasiswa dan pelajar, kebanyakan memang lebih menyukai PTM.
Tapi, ada lagi orang lain, yang bukan belajar, juga bukan mengajar, namun ikut senang dengan dimulainya PTM. Siapa saja mereka?
Pertama, penjual jajanan di depan sekolah. Ini bukan pedagang resmi seperti di kantin. Biasanya si pedagang menggunakan gerobak, sepeda, atau motor, lalu pada jam-jam tertentu mangkal di depan sebuah sekolah.
Makanan dan minuman yang berwarna-warni, tanpa peduli apakah sehat atau tidak, akan diserbu anak sekolah begitu berbunyi bel tanda istirahat. Es campur paling disukai anak SD, meskipun sebetulnya dilarang oleh ibunya.
Dari layar kaca, saya pernah menyimak penuturan seorang pedagang makanan kecil yang penghasilannya menurun tajam sejak anak sekolah belajar secara online.Â
Kedua, para penjual makanan di kantin sekolah. Keberadaan kantin lazimnya pakai tempat yang permanen (berbeda dengan pedagang keliling).
Biasanya kantin dibangun oleh koperasi sekolah dalam sebuah bangunan yang tetata, lalu dibagi atas beberapa bagian seperti di pujasera (pusat jajanan serba ada).
Agar seorang pedagang bisa dapat tempat di kantin, harus menyewa ke koperasi. Itu pun kalau banyak peminat, yang terpilih biasanya pedagang yang masih ada hubungan atau dikenal oleh kepala sekolah atau guru-guru di sekolah itu.