Bagi fresh graduate, nego gaji biasanya dilakukan dengan malu-malu dan akhirnya menerima saja sesuai standar yang berlaku di tempat yang dilamar.
Tapi, bila seorang karyawan sudah punya pengalaman beberapa tahun dan sempat mengalami promosi jabatan, maka ia merasa lebih siap untuk melakukan nego gaji. Ia sudah punya bekal dan mengerti gaji yang berlaku di perusahaan pesaing.Â
Hanya saja, budaya nego gaji secara terbuka, lebih banyak berlaku di perusahaan swasta nasional kelas menengah ke atas dan perusahaan multinasional yang beroperasi di Indonesia.
Namun demikian, nego gaji tersebut hanya lazim bila perusahaan di atas bermaksud merekrut staf atau pejabat baru yang akan diambil dari tenaga kerja yang sudah berpengalaman.
Sedangkan bagi mereka yang sudah berada sekian lama di dalam perusahaan dan melakukan nego untuk mendapatkan kenaikan gaji (agar tetap bertahan di perusahaan tersebut), tidak banyak perusahaan yang menerapkannya.
Soalnya di perusahaan yang sistem penggajian sudah tertata rapi, sudah jelas bahwa bila nilai kinerja seseorang berkategori "sangat baik", kenaikan gaji tahunannya juga akan jauh di atas mereka yang kinerjanya sekadar rata-rata.
Makanya, dalam hal ini tidak ada istilah nego gaji. Kalaupun ada nego, itu lazim untuk mendapat predikat kinerja.Â
Ketika atasan menilai kinerja seseorang "baik", padahal orang itu merasa "sangat baik", akan terjadi diskusi dan kedua pihak mengajukan bukti yang mendasari pendapatnya.
Nah, sekiranya dengan kenaikan gaji tahunan yang diterimanya, dinilai tidak sesuai harapan, seorang karyawan boleh saja diam-diam mengajukan lamaran ke perusahaan lain.Â
Selain masalah gaji, bisa jadi kesempatan untuk promosi jabatan juga sulit didapat. Tak ada salahnya mencoba peruntungan di tempat lain, siapa tahu diterima untuk posisi yang lebih tinggi.
Di sinilah relevansi kemampuan melakukan nego gaji akan sangat diperlukan karena ikut menjadi faktor penentu diterima atau tidaknya.Â
Misal, jika Anda berkecimpung di bank dengan jam terbang relatif tinggi, dan menurut Anda sudah jadi orang kunci di tempat lama, saatnya Anda pasang harga.
Masalahnya, Anda mau pasang harga berapa? Tidak bisa ujuk-ujuk menyebut suatu angka dari langit, harus based on kompetensi yang Anda miliki.
Nah, berbicara tentang kompetensi, bukan tentang apa yang akan Anda lakukan, bukan apa yang Anda janjikan, tapi apa yang sudah terbukti Anda lakukan dengan hasil yang gemilang di tempat yang lama.
Artinya, kisah sukses Anda di bank yang lama harus mampu Anda kemas dengan baik. Tidak dilebih-lebihkan, tidak pula dikurang-kurangkan.
Umpamanya, sekarang ini bank di negara kita pada umumnya lagi kelebihan likuiditas. Maksudnya, dana yang dihimpun bank dari para penabung lebih besar dari kemampuan bank menyalurkan dana ke masyarakat dalam bentuk kredit.
Jika Anda di tempat lama adalah jagoan di bidang kredit, katakanlah setahun yang lalu Anda berhasil "deal" menggaet beberapa debitur baru dengan nilai kredit puluhan miliar rupiah, saatnya anda unjuk gigi.
Tapi, Anda harus yakin, masuknya sejumlah debitur tesebut ke bank Anda yang lama, betul-betul berkat bujuk rayu Anda, bukan semata-mata karena nama bank tempat Anda bekerja.
Jadi, Anda tahu bahwa Anda adalah orang kunci. Nanti, kalau Anda pindah ke bank baru, tak kan sulit men-take over kredit terhadap nasabah Anda di tempat lama.
Take over itu maksudnya, berkat jaringan Anda, bank Anda yang baru akan melunasi kredit si debitur di bank lama, dan setelah itu mereka menjadi debitur bank Anda yang baru.
Kuncinya, Anda harus meyakinkan pewawancara agar dinilai punya kompetensi yang tinggi dalam bidang pemasaran, khususnya memasarkan penyaluran kredit.
Contoh kompetensi dimaksud adalah mempengaruhi orang lain yang jadi target nasabah baru, melakukan presentasi, melayani pelanggan melebihi ekspektasi mereka, dan dorongan berpersetasi untuk melampaui target yang ditetapkan atasan.
Lalu, berapa harga yang Anda pasang? Meskipun Anda orang kunci, tetap tak bisa seenaknya. Anda harus mencari informasi dari lembaga yang melakukan survei gaji.
Anda harus paham, andai pun harga Anda memang tinggi, itu berada pada standar gaji yang berlaku pada 10 persen bank-bank yang paling berani memberikan gaji besar untuk posisi yang aAda incar.
Dari kisah di atas, jelaslah, seseorang harus paham mengukur kompetensi yang dimilikinya dan memahami kompetensi yang dituntut oleh suatu jabatan yang sedang lowong.
Jika kompetensi individu belum cukup untuk memenuhi kompetensi jabatan yang dituju, perlu semakin banyak membuat kisah sukses sebagai bukti telah terjadi peningkatan kompetensi.
Tentu, mengukir kisah sukses tersebut dilakukan dengan bekerja di tempatnya sekarang secara lebih gigih, lebih cerdas, dan lebih unggul ketimbang karyawan lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H