Fenomena tersebut menjadi ironis, bila membandingkan dengan yang terjadi pada perbankan secara umum. Â Pertumbuhan kredit perbankan mengalami kontraksi.
Artinya, jumlah pinjaman yang diberikan bank pada masyarakat menurun ketimbang yang disalurkan pada tahun sebelumnya.
Namun, apa yang terjadi di bank bukan hal yang aneh. Bank memang sangat selektif dalam  memberikan kredit. Jika bank tidak yakin seorang calon peminjam akan mampu mengembalikan kredit, bank akan menolak permohonan kredit.
Inilah yang membuat masyarakat kelas bawah terjepit. Peluang meminjam dari bank boleh dikatakan tidak ada. Satu-satunya harapan adalah mendapat bantuan tunai dari pemerintah.
Masalahnya, tidak semua masyarakat terdampak pandemi mendapat bantuan sosial. Mungkin karena data yang belum akurat, atau karena tinggal di daerah yang tak sesuai dengan KTP, sehingga masih ada yang belum kebagian bantuan.
Orang yang sudah tak melihat sumber bantuan lain, begitu mengetahui ada pinjol ilegal yang bisa mengucurkan uang dengan gampang, cukup bermodalkan KTP, tentu saja tak lagi berpikir panjang buat berutang.
Serba sulit memang. Si peminjam hanya berpikir untuk hari ini, bahwa ia butuh uang. Mungkin untuk makan atau memebeli kebutuhan pokok lainnya.
Mereka lupa bahwa sumber untuk melunasi utang belum jelas sama sekali. Itulah yang membuat mereka terjebak pada pola gali lobang tutup lobang.
Yang lebih disayangkan, jika ada yang terjebak pinjol ilegal untuk membeli kebutuhan yang bukan pokok, hanya untuk bersenang-senang.
Jadi, bagaimana sebaiknya kita menyikapi tawaran pinjol yang bertubi-tubi masuk ke gawai kita?Â
Ada pepatah lama yang barangkali relevan dengan topik yang kita bahas, yakni :"bayang-bayang sepanjang badan". Â Nah, prinsip ini yang perlu kita gunakan.