Jujur saja, sebelum menikah saya tidak begitu suka anak kecil. Umpamanya, saya bertamu ke rumah saudara yang di sana ada anak kecil berusia di bawah lima tahun (balita), saya tidak punya inisiatif untuk bercanda dengan si anak.
Bahkan, jika si anak mendekat ke saya, saya menanggapinya dengan datar saja. Padahal, kakak perempuan saya malah sengaja mengajak si anak bermain.
Pernah suatu kali saya terpaksa menggendong seorang anak, karena ibunya minta tolong. Terasa sekali betapa kakunya saya menggendong anak kecil.
Kenapa saya begitu kaku dengan anak kecil? Mungkin karena saya sudah "kenyang" punya 3 orang adik. Orang tua saya punya 7 anak dan saya anak nomor 4.Â
O ya, ketika saya kecil, belum ada kampanye pemerintah untuk membatasi kelahiran anak melalui program Keluarga Berencana (KB).
Padahal, rumah orang tua saya relatif kecil, sehingga kamar anak hanya ada dua, yakni untuk semua anak laki-laki dan untuk semua anak perempuan.Â
Rasanya kalau saya belajar atau bikin PR sekolah, ada saja gangguan dari adik-adik saya yang lagi main atau lagi ngobrol sesamanya.
Sudah begitu, beberapa tetangga saya juga punya banyak anak. Jadi, mendengar anak yang merengek atau melihat anak yang wajahnya blepotan karena ingusnya yang naik turun, turut andil membuat saya kurang suka dengan anak kecil
Makanya, mohon dimaklumi, kenapa setelah saya dewasa (tapi saat masih bujangan), saya sangat jarang bermain-main dengan keponakan yang masih balita.
Saya pernah dimarahi tante saya, gara-gara cucunya terjatuh dari tangga. Saya dibilang hanya asyik baca koran dan tidak peduli dengan cucunya yang diam-diam naik tangga.
Padahal, status saya di rumah tante adalah menumpang. Ketika itu saya baru bekerja di Jakarta dan untuk sementara waktu tinggal di sana.
Begitulah pandangan saya tentang anak-anak dulunya. Kakak-kakak saya sudah underestimate ketika saya mau menikah. Mereka meragukan apakah saya akan penyayang kepada anak sendiri.Â
Sewaktu menikah, saya bersikap netral saja tentang mau punya anak atau tidak. Maksudnya, jika Allah mentakdirkan saya punya anak, tentu segala konsekuensinya harus saya hadapi.
Tapi, jika tidak dapat anak, saya juga tidak akan terlalu ngotot. Tak ada niat untuk ikut program bayi tabung atau mencari anak angkat.
Hanya sekira 1 tahun 3 bulan istri saya yang "kosong", setelah itu istri saya hamil. Lalu, kelahiran anak pertama saya sambut dengan sukacita.
Mau tak mau saya terbiasa menggendong bayi, bahkan sering ganti baju karena kena buang air kecil si bayi. Alhamdulillah, semua bisa saya nikmati.Â
Tak cukup satu anak, 2 tahun 4 bulan setelah itu lahir anak kedua. Masih laki-laki seperti anak pertama, tapi tak masalah, saya tetap bahagia dan bersyukur.
Sepertinya saya hanya akan punya 2 anak saja. Tak ada keinginan yang menggebu-gebu agar punya satu lagi anak yang kalau bisa berjenis kelamin perempuan.
Eh, gak tahunya, 4 tahun  setelah anak kedua lahir, akhirnya seorang anak perempuan betul-betul hadir menyemarakkan rumah tangga kami.
Begini rupanya punya anak itu. Meskipun capek, tapi melihat tumbuh kembang anak dari hari ke hari, rasanya sebuah sensasi yang luar biasa.
Akhirnya saya jadi paham, kenapa orang cenderung membanggakan anaknya sendiri. Ketika menceritakan kelincahan dan kepintaran anaknya, tanpa disadari, terbersit rasa bangga.
O ya, saya pernah merasakan kerinduan yang amat sangat kepada anak, jauh lebih besar ketimbang kerinduan kepada istri.Â
Waktu itu saya dikirim kantor mengikuti pelatihan selama 3 bulan di luar negeri. Begitu pulang ke tanah air, saat mendarat di bandara Soekarno-Hatta, saya menangis haru karena bisa menggendong anak saya lagi.
Ketika itu saya baru punya satu anak  yang berusia 1,5 tahun. Tapi, kalau saya sebut tidak kangen sama istri, tentu keliru juga. Buktinya setelah pulang dari luar negeri, saya berhasil menghamili istri untuk kedua kalinya.
Rumus yang sering saya sampaikan pada orang lain, seperti ini: "Jika sudah siap, lebih baik menikah dari pada melajang dan lebih baik punya anak ketimbang tidak punya".
Tapi, saya sangat menyadari, setiap orang berhak menentukan pilihan, baik soal menikah maupun soal mau punya anak atau tidak. Saya harus menghargai pilihan orang lain.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI