Begitulah pandangan saya tentang anak-anak dulunya. Kakak-kakak saya sudah underestimate ketika saya mau menikah. Mereka meragukan apakah saya akan penyayang kepada anak sendiri.Â
Sewaktu menikah, saya bersikap netral saja tentang mau punya anak atau tidak. Maksudnya, jika Allah mentakdirkan saya punya anak, tentu segala konsekuensinya harus saya hadapi.
Tapi, jika tidak dapat anak, saya juga tidak akan terlalu ngotot. Tak ada niat untuk ikut program bayi tabung atau mencari anak angkat.
Hanya sekira 1 tahun 3 bulan istri saya yang "kosong", setelah itu istri saya hamil. Lalu, kelahiran anak pertama saya sambut dengan sukacita.
Mau tak mau saya terbiasa menggendong bayi, bahkan sering ganti baju karena kena buang air kecil si bayi. Alhamdulillah, semua bisa saya nikmati.Â
Tak cukup satu anak, 2 tahun 4 bulan setelah itu lahir anak kedua. Masih laki-laki seperti anak pertama, tapi tak masalah, saya tetap bahagia dan bersyukur.
Sepertinya saya hanya akan punya 2 anak saja. Tak ada keinginan yang menggebu-gebu agar punya satu lagi anak yang kalau bisa berjenis kelamin perempuan.
Eh, gak tahunya, 4 tahun  setelah anak kedua lahir, akhirnya seorang anak perempuan betul-betul hadir menyemarakkan rumah tangga kami.
Begini rupanya punya anak itu. Meskipun capek, tapi melihat tumbuh kembang anak dari hari ke hari, rasanya sebuah sensasi yang luar biasa.
Akhirnya saya jadi paham, kenapa orang cenderung membanggakan anaknya sendiri. Ketika menceritakan kelincahan dan kepintaran anaknya, tanpa disadari, terbersit rasa bangga.
O ya, saya pernah merasakan kerinduan yang amat sangat kepada anak, jauh lebih besar ketimbang kerinduan kepada istri.Â