Minggu pagi kemarin, istri saya ngomel-ngomel melihat tumpukan dokumen pribadi saya yang semakin menggunung dan menyita tempat di salah satu sudut kamar kami berdua.
Memang, dari dulu saya suka menyimpan dokumen, meskipun saya tahu kegunaannya sudah tidak ada, selain sebagai kenangan, atau biar keren, saya anggap punya nilai historis.
Bahkan, ketika saya mulai bekerja akhir dekade 80-an, ketika itu masih menerima gaji bulanan berupa uang tunai dan tidak masuk rekening seperti sekarang, slip gaji jadul tersebut masih saya simpan.
Di lain pihak, istri saya sangat gampang membereskan dokumen, yang "main hantam" saja dimasukkan ke kardus untuk diberikan ke pemulung.
Padahal, iseng-iseng saya pernah melihat isi kardus sebelum diserahkan ke pemulung, ternyata ada buku yang menurut saya sayang untuk dibuang.
Nah, pada Minggu pagi itu, menindaklanjuti omelan istri, saya buka satu bundel besar dokumen saya. Tujuannya agar bisa memilah, mana yang akan saya buang dan mana yang akan saya pertahankan.
Ternyata, satu bundel itu isinya hampir semua dokumen semacam kuitansi tanda menerima sejumlah uang saat saya masih bertugas di kantor pusat sebuah BUMN.
Saya menyebutnya sebagai "uang laki-laki" seperti juga julukan yang dinamakan oleh teman-teman kerja saya terhadap uang yang diterima selain gaji bulanan.
Soalnya, kalau gaji bulanan, sudah jelas alamat tujuannya, yakni diserahkan ke istri. Sedangkan uang laki-laki itu tadi, bagi saya, cukup dilaporkan ke istri, dengan tujuan nantinya dipakai untuk pengeluaran tak terduga dan dana darurat.
Atau, misalnya uangnya sudah terakumulasi relatif besar menurut ukuran saya, gunanya akan diinvestasikan setelah bermusyawarah dengan istri.
Tapi, bagi teman-teman saya mungkin saja uang seperti itu tidak dilaporkan kepada istrinya dan bisa dipakai untuk memuaskan hobinya. Makanya, dinamakan uang laki-laki.