Seorang atlet angkat besi wanita, Nurul Akmal, yang baru mendarat di Bandara Soekarno-Hatta sepulangnya dari mengikuti Olimpiade 2020 di Tokyo, Jepang, jadi objek body shaming oleh seorang oknum.
Ketika itu ada acara penyambutan secara resmi. Nah, sewaktu Nurul mengambil karangan bunga, seorang oknum berkomentar yang kurang pantas. "Yang paling kurus," demikian kata si oknum.
Nurul Akmal adalah atlet angkat besi yang turun di babak final Olimpiade Tokyo kelas 87 kilogram. Tentu dapat dimaklumi bila postur tubuh Nurul sesuai dengan kelas yang diikutinya.
Tulisan ini sama sekali tidak bermaksud melakukan body shaming kepada siapapun atlet yang berat badannya berada pada kelompok kelas atas.
Pertandingan atau perlombaan olahraga yang dibedakan kelasnya sesuai berat badan tidak hanya angkat besi, tapi juga banyak sekali cabang olahraga beladiri.
Nah, jelaslah, bukan salah si atlet bila ia harus mempertahankan berat badannya yang di atas rata-rata kebanyakan orang. Bukankah berat tersebut harus dipertahankan agar tetap bisa bertarung di kelas sebelumnya.
Ada bagusnya bertarung di kelas khusus bagi yang berat badannya di atas 85 kg. Peluang memperoleh medali lebih besar karena tingkat persaingannya tidak seketat kelas di bawahnya karena pesertanya lebih sedikit.
Masalahnya, persepsi umum menyatakan bahwa kegemukan identik dengan kurang sehat, atau paling tidak punya risiko yang lebih besar. Artinya, potensi terkena penyakit orang yang gemuk lebih besar ketimbang yang berat badannya lebih ringan.Â
Makanya, menjamurnya pusat kebugaran bukan semata-mata agar penampilan oke, tapi juga agar lebih sehat. Lagipula, ada anggapan bahwa kalau rajin olahraga, tubuh seseorang akan langsing.
Selain itu, berbagai metode diet, banyak diterapkan oleh mereka yang merasa kegemukan dan ingin menurunkan berat badannya.
Tapi, apakah persepsi umum tentang orang gemuk rawan sakit berlaku mutlak? Yang lebih tepat menjawabnya tentu pakar di bidang yang relevan.
Secara teori, memang disebutkan berat badan ideal yang dikaitan dengan tinggi badan. Maksudnya, orang yang berat badannya 80 kg, tapi tingginya sekitar 175-185 cm, tergolong ideal dan tak akan terlihat gemuk.
Namun, dengan berat badan hanya 75 kg, tapi tinggi badannya 160 cm, akan terlihat gemuk dan sebaiknya dikurangi berat badannya.
Ada sejumlah faktor lain yang ikut menentukan sehat tidaknya seseorang. Jangan heran kalau ada orang yang gemuk tapi sehat susuai hasil general check up. Sebaliknya, ada pula yang berat badannya ideal sesuai teori, namun mengidap penyakit.
Jadi, jangan buru-buru mengatakan atet yang gemuk cenderung berisiko tinggi dalam hal kesehatannya. Gemuknya atlet bisa jadi tidak sama dengan gemuknya orang biasa.
Buktinya, bagi yang sering melihat pertandingan Sumo (beladiri gulat tradisional Jepang), tentu tidak heran melihat bobot jumbo para atletnya. Berat badan mereka berkisar 130 hingga 180 kg.
Kenapa pesumo harus gendut? Karena sumo tidak mengenal kelas seperti tinju. Atlet yang lebih kurus akan kesulitan ketika berhadapan dengan lawan yang gemuk. Akhirnya tak ada pesumo yang tidak gemuk.
Tapi, seperti ditulis id.quora.com, kadar kolesterol pegulat sumo relatif rendah dan lemak darahnya dalam kategori normal. Hal itu karena pegulat sumo menyimpan lemak di bawah kulitnya.
Sedangkan penderita obesitas menyimpan lemak di dalam tubuh, tepatnya di sekitar pankreas dan hati. Lemak yang menempel ini disebut visceral.
Pola makan pegulat sumo juga diatur sangat ketat. Memang, kalori yang mereka butuhkan sangat banyak, yakni 20.000 kalori per hari.
Namun, jenis makanan yang mereka konsumsi tergolong sehat, tidak diperkenankan melahap makanan cepat saji dan makanan yang mengandung kadar gula tinggi.
Tubuh sehat atlet sumo tentu juga berkat latihan fisik yang rutin dan keras, sepanjang mereka masih aktif sebagai pesumo.Â
Setelah pensiun, pesumo juga dianjurkan untuk rutin berolahraga, agar terhindar dari risiko penyakit jantung.
Nah, kembali ke atlet angkat besi kita Nurul Akmal, publik harus memberikan apresiasi atas perjuangannya di Olimpiade, jangan malah melakukan body shaming.Â
Untung saja Nurul mentalnya cukup kuat, mungkin sudah siap mengahadapi komentar seperti itu. Maju terus Nurul Akmal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H