Tapi, bagi yang telah masuk ke sektor formal seperti kisah 3 orang keponakan saya, saya mempunyai sisi pandang yang lain. Maka, meskipun saya menghargai niatnya untuk berwirausaha, saya tidak ingin mereka buru-buru resign.
Dengan menjadi seorang karyawan, ada ketenangan karena setiap tanggal tertentu mendapatkan gaji. Saya memahami, gaji keponakan saya itu masih di sekitar upah minimum.
Atau, kalaupun ditambah dengan sedikit bonus, agaknya masih belum memenuhi harapan mereka.Â
Bukankah anak muda sekarang membutuhkan uang untuk membeli ponsel baru, membeli kuota internet, traveling, makan-makan di mal, dan sebagainya.
Namun, gaji yang relatif kecil itu perlu disyukuri. Adapun kegiatan merintis usaha, cukup diujicobakan pada saat libur kerja.Â
Bahkan, produk yang dibuat sebaiknya dibawa ke tempat kerja dan amati apakah teman-teman di kantor puas dengan produk itu.
Jika masih ada kekurangan, misalnya untuk produk makanan, mintakan masukan dari teman. Dengan demikian, dari sisi rasa makanan atau penampilan, bisa dilakukan perbaikan.
Demikian pula bila  produknya berupa hijab atau asesoris buat wanita. Teman-teman di kantor adalah tester yang baik yang akan memberikan umpan balik bagi kesuksesan di masa datang.Â
Jadi, ciptakan semacam masa transisi sekitar satu tahun sebelum terjun total menjadi pelaku usaha. Selama masa transisi itu tetap berstatus sebagai karyawan.
Jika tanpa masa transisi, dikhawatirkan akan kagok ketika menghadapi hal yang tak sesuai dengan rencana. Banyak memang buku panduan bagaimana cara berwirausaha, tapi saat praktik, pasti tak segampang yang tercantum di buku teori.
Banyak pula yang silau melihat keberhasilan orang lain yang usahanya berkembang pesat, sehingga si pelaku usaha menjadi orang kaya baru.Â