Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Entrepreneur Artikel Utama

Orang Kantoran Mau Banting Setir ke Usaha Rumahan? Jangan Buru-buru Resign

9 Agustus 2021   08:00 Diperbarui: 10 Agustus 2021   01:21 1979
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pelaku bisnis online rumahan. Sumber: Shutterstock via Kompas.com

Saat pegawai kantoran memutuskan untuk memulai usaha rumahan ada baiknya tak langsung resign. Ciptakan semacam masa transisi sebelum terjun total menjadi pelaku usaha.

---

Sudah tiga orang keponakan saya yang resign dari kantor tempat mereka masing-masing bekerja. Tapi, hal ini tak berkaitan dengan pandemi yang salah satu dampaknya adalah terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) di banyak perusahaan.

Meskipun tidak bersamaan waktunya, ketiga keponakan saya itu mengajukan permohonan pengunduran diri pada tahun 2018 dan 2019 lalu. Ketika itu belum ada berita pandemi, termasuk di Wuhan, China, daerah asal muasal Covid-19.

Saya sebetulnya agak menyayangkan keputusan berani yang diambil tiga keponakan itu. Tapi, di lain pihak saya juga menghargai keputusannya dan tetap mendukung dan membantu.

Padahal, dua di antaranya sudah berstatus karyawan tetap, satu di sebuah dealer mobil dan satu lagi di perusahaan asuransi. Tapi, satu keponakan yang lain memang posisinya sebagai tenaga kontrak (outsourcing) di sebuah bank.

Saya sudah mengemukakan pandangan agar mereka tak perlu buru-buru resign. Soalnya, mereka bukan terkena PHK, dan bukan pula terkena program perampingan karyawan. 

Alasan mereka kebetulan juga sama, mau banting setir, fokus membuka usaha rumahan. Ada yang akan berjualan pakaian muslim secara online, ada yang mau membuka jasa laundry, dan yang satunya lagi mau buka usaha makanan kecil.

Saya tak meragukan, bahwa niat untuk berwirausaha merupakan hal yang bagus. Indonesia memang membutuhkan lebih banyak pelaku usaha, meskipun untuk skala yang tergolong usaha mikro.

Bayangkan, bila para lulusan perguruan tinggi tidak terlalu banyak yang berburu jadi pegawai negeri, pegawai perusahaan milik negara atau milik swasta, tapi justru menciptakan lapangan kerja sendiri, tentu akan menekan angka pengangguran secara signifikan.

Tapi, bagi yang telah masuk ke sektor formal seperti kisah 3 orang keponakan saya, saya mempunyai sisi pandang yang lain. Maka, meskipun saya menghargai niatnya untuk berwirausaha, saya tidak ingin mereka buru-buru resign.

Dengan menjadi seorang karyawan, ada ketenangan karena setiap tanggal tertentu mendapatkan gaji. Saya memahami, gaji keponakan saya itu masih di sekitar upah minimum.

Atau, kalaupun ditambah dengan sedikit bonus, agaknya masih belum memenuhi harapan mereka. 

Bukankah anak muda sekarang membutuhkan uang untuk membeli ponsel baru, membeli kuota internet, traveling, makan-makan di mal, dan sebagainya.

Namun, gaji yang relatif kecil itu perlu disyukuri. Adapun kegiatan merintis usaha, cukup diujicobakan pada saat libur kerja. 

Bahkan, produk yang dibuat sebaiknya dibawa ke tempat kerja dan amati apakah teman-teman di kantor puas dengan produk itu.

Jika masih ada kekurangan, misalnya untuk produk makanan, mintakan masukan dari teman. Dengan demikian, dari sisi rasa makanan atau penampilan, bisa dilakukan perbaikan.

Demikian pula bila  produknya berupa hijab atau asesoris buat wanita. Teman-teman di kantor adalah tester yang baik yang akan memberikan umpan balik bagi kesuksesan di masa datang. 

Jadi, ciptakan semacam masa transisi sekitar satu tahun sebelum terjun total menjadi pelaku usaha. Selama masa transisi itu tetap berstatus sebagai karyawan.

Jika tanpa masa transisi, dikhawatirkan akan kagok ketika menghadapi hal yang tak sesuai dengan rencana. Banyak memang buku panduan bagaimana cara berwirausaha, tapi saat praktik, pasti tak segampang yang tercantum di buku teori.

Banyak pula yang silau melihat keberhasilan orang lain yang usahanya berkembang pesat, sehingga si pelaku usaha menjadi orang kaya baru. 

Tapi, kalau si pengusaha sukses itu bercerita dengan jujur, pasti sebelum menuai kesuksesan, ia telah kenyang merasakan jatuh bangunnya menggeluti bisnis. 

Hanya saja, mental orang yang sukses adalah mental yang tangguh dan tahan banting. Setiap terjatuh, ia segera bangkit lagi, dan akhirnya menemukan strategi yang tepat, sehingga menuai sukses.

Konsep masa transisi itu juga bisa diterapkan bagi mereka yang mau pensiun. Kalau bisa jangan satu tahun, tapi 3 tahun sebelumnya sudah memulai masa transisi itu, bila mau berwirausaha saat pensiun.

Hanya mereka yang terkena PHK secara tidak terduga, seperti yang banyak terjadi saat pandemi sekarang ini, yang relatif sulit menerapkan masa transisi.

O ya, dua dari tiga keponakan itu, kebetulan ketika akan memulai usaha datang ke rumah saya dengan maksud meminjam sejumlah uang sebagai modal usaha.

Ya, namanya juga keponakan sendiri, tentu saya tidak keberatan. Tapi, saya ingin menekankan agar mereka jangan beranggapan bahwa faktor modal sebagai hal yang paling utama. Seolah-olah kalau ada uang, semua pasti beres. 

Untung saja saya berpikir bukan seperti orang bank saat ada calon nasabah yang mengajukan permohonan mendapatkan kredit modal kerja.

Bank tidak akan mau mengucurkan kredit untuk usaha yang baru akan dimulai. Tapi, jika usaha itu sudah berjalan, dan bank telah melakukan on the spot serta usahanya prospektif berdasarkan hitung-hitungan bank, barulah kredit bisa diberikan.

Kecuali jika si pemohon kredit punya pekerjaan dengan gaji tetap dan ingin membuka usaha rumahan sebagai kegiatan sampingan. Dalam hal ini, kredit konsumer bisa dikucurkan bank  dengan jaminan gaji bulanan tersebut.

Di atas telah saya tulis bahwa bukan modal yang menjadi hal terpenting. Ada banyak faktor lainnya, seperti mutu produk yang baik, harga yang bersaing, pelayanan yang bagus, kejelasan kelompok pelanggan yang menjadi sasaran, dan efektivitas promosi.

Satu lagi, dan inilah yang terpenting, adalah faktor individu yang mengelola. Bukan saja soal kemauan dan kemampuannya, tapi soal integritas lah yang paling utama dan bersifat mutlak.

Jangan sedikit pun ada niat untuk mengelabui pelanggan. Selalu memenuhi janji, jujur soal takaran dan timbangan, jujur menjelaskan mutu barang, adalah beberapa contoh yang menjadi bukti pentingnya integritas dimaksud.

Kembali ke keponakan saya, setelah dua tahun usaha masing-masing berjalan, yang agak lumayan perkembangannya adalah yang membuka usaha laundry.

Sedangkan yang lainnya, masih belum menemukan strategi yang pas. Apalagi, dengan pandemi yang berkepanjangan, ikut jadi faktor penghambat.

Namun demikian, tentu semuanya saya doakan agar semakin bagus bisnisnya.

Dok. Flickr/Gaelen, via temandagang.id
Dok. Flickr/Gaelen, via temandagang.id

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Entrepreneur Selengkapnya
Lihat Entrepreneur Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun