Semakin mudah dan murahnya seseorang terhubung dengan internet, mengumpulkan teman-teman yang sudah tidak bertemu puluhan tahun pun bukan lagi soal sulit.
Begitulah, saya sekarang menjadi anggota grup alumni semua jenjang pendidikan yang pernah saya ikuti, kecuali teman Sekolah Dasar (SD).Â
O ya, dulu saya tidak mengenyam pendidikan di Taman Kanak-kanak (TK). Pada usia 6 tahun langsung masuk SD, karena sudah bisa membaca.
Sebelum pandemi, saya beberapa kali ikut reuni dengan teman sekolah atau teman kuliah, tapi setelah pandemi masuk ke negara kita, komunikasi hanya berlangsung melalui grup media sosial saja, khususnya Grup WA.Â
Sebagaimana layaknya sebuah organisasi, beberapa grup alumni yang saya ikuti tersebut dilengkapi dengan pengurus. Untungnya tidak ada persaingan untuk menjadi ketua seperti di organisasi politik atau organisasi masyarakat (ormas).
Lalu, selain ketua umum, posisi yang juga strategis, dalam arti tanggung jawabnya besar, adalah bendahara. Ia harus membuat catatan pemasukan uang serta pengeluaran dengan rapi dan melaporkannya kepada semua anggota.
Ada grup yang tidak menarik iuran bulanan, sehingga waktu ada anggota yang mengalami musibah, misalnya orang tuanya meninggal, atau ada yang sakit berat, bendahara akan mengumpulkan iuran secara spontanitas.
Tapi, yang akan saya kisahkan berikut ini, di sebuah grup yang saya ikuti, punya ketua yang baru pensiun sebagai polisi yang dulunya punya jabatan cukup tinggi untuk level kabupaten.
Nah, ketua ini menetapkan semua anggota wajib membayar iuran bulanan Rp 10.000 dan dibayarkan ke rekening bendahara. Ketika ide itu dilontarkan, tak ada anggota yang keberatan, sehingga dianggap semuanya setuju.
Menurut saya, jumlah sebanyak itu cukup fair, tidak memberatkan bagi mayoritas anggota. Lagi pula, uang yang terkumpul semuanya untuk tujuan sosial, yang larinya ke anggota juga.
Sejak pandemi, sudah beberapa orang angota yang meninggal dunia. Tentu uang duka akan disampaikan kepada anaknya. Anggota yang kehilangan orang tua atau mertua, lebih banyak lagi.
Selain iuran bulanan, ada lagi uang yang ditarik secara sukarela pada waktu tertentu, misalnya di bulan puasa. Ketua sudah mendata siapa saja anggota yang layak dibantu karena sakit kronis atau yang tidak punya penghasilan cukup.
Kemudian, misalnya mau reuni (tahun depan diperkirakan pandemi sudah berlalu, rencana reuni sudah disusun), tentu akan ada lagi iuran khusus reuni.
Ternyata, untuk membayar Rp 10.000 secara konsisten setiap bulan, atau agar praktis, membayar Rp 100.000 untuk 10 bulan, bukan soal gampang.
Tak sedikit anggota yang lupa atau pura-pura lupa. Dan itu tidak ada kaitannya dengan penghasilan seseorang. Soalnya, ada yang terlihat kaya, tapi lupa membayar iuran.
Sebaliknya, ada yang gayanya sangat sederhana, tapi rajin membayar iuran. Jadi, ini lebih ke persoalan kemauan, bukan kemampuan.
Cukup sering ketua alumni mengingatkan, namun masih banyak yang tidak mengindahkan. Akhirnya ketua bikin gebrakan, ia menulis pesan bahwa ia merasa gagal jadi ketua dan meletakkan jabatan. Lalu ia keluar dari grup percakapan media sosial itu.
Seketika muncul tanggapan dari beberapa teman yang pada intinya senada, yaitu menyayangkan sikap ketua yang sangat putus asa dan sekaligus menyeru agar teman-teman yang belum membayar iuran, segera melunasi utangnya.
Saya sendiri tidak memberikan tanggapan dan secara pribadi saya tak punya utang iuran, bahkan untuk beberapa bulan ke depan sudah saya bayar dimuka.
Tapi, dalam hati saya merasa tindakan ketua terlalu drastis, mungkin terbawa sikapnya saat berdinas di kepolisian yang harus tegas dalam segala sesuatu.
Hanya saja, dalam konteks pertemanan yang longgar, sikap tersebut tidak perlu ditempuh. Memang, orang yang cuek dengan soal sumbangan sosial, cukup banyak.
Namun, segala keperluan untuk bantuan kepada anggota yang kurang mampu, biasanya akan tertutupi oleh donasi dari segelintir anggota yang punya kemampuan dan sekaligus kemauan membantu.
Tak bisa semuanya diperlakukan "sama rata sama rasa", karena kondisi keuangan, beban kehidupan, dan terutama soal niat seseorang untuk bergabung, tidaklah sama.
Syukurlah, setelah itu teman-teman yang menunggak mulai mengirimkan bukti transfer ke rekening bendahara alumni, meskipun juga ada yag tetap cuek bebek.
Kemudian sang ketua masuk lagi ke grup setelah admin mengundang bergabung. Tapi, lagi-lagi sang ketua bikin gebrakan yang membuat saya terhenyak.
Ketua menulis yang intinya dia mengambil kebijakan yang tidak populer, yakni membagi anggota atas dua kelompok, kelompok aktif dan kelompok nonaktif.Â
Yang nonaktif adalah yang belum membayar tunggakan iuran bulanan. Konsekuensinya, jika mereka sakit atau ada anggota keluarganya yang meninggal, tidak akan diberikan bantuan dari grup alumni.
Jujur, saya tidak sependapat dengan kebijakan ketua yang main keras seperti itu. Menurut saya, membantu ya membantu saja. Â Soal utang tunggakan, kembali ke hati nurani masing-masing anggota.
Jika uang kas menipis dan tidak ada donatur yang mau menyumbang, tentu uang duka yang dibagi juga disesuaikan. Yang penting ada tanda duka sebagai wujud silaturahmi antar teman-teman yang dulunya pernah satu sekolah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H